Smart Dakwah, Transformasi Dakwah Digital
Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag. MH, Kakan Kemenag Anambas
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk(An-Nahl; 125).Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan ke era baru, yang kini dikenal sebagai masyarakat 6.0. Era ini ditandai dengan kemajuan teknologi berbasis digital yang berorientasi pada prospek bisnis. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia seringkali dipandang memiliki literasi digital yang kurang memadai dan potensi pemanfaatan teknologi informasi untuk mengatasi masalah tersebut. Di era ini pula seluruh aspek kehidupan harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada, sebab itu Indonesia dalam lingkup pendidikan umpamanya mulai berinovasi dengan hadirnya konsep smart city dan smart campus.Demikian pula, upaya dakwah harus mampu beradaptasi dan bertransformasi mengkomunikasikan pesan-pesan nilai ajaran agama (Islam) dengan memanfaatkan teknologi melalui konsep smart dakwah (dakwah cerdas). Tujuannya adalah agar dakwah berkembang secara aktif, efektif dan inovatif dalam merespons perkembangan zaman.Smart dapat dipahami sebagai cerdik atau cerdas, biasanya istilah cerdas muncul dalam frasa seperti orang cerdas, yang menunjukkan masyarakat cerdas (Nuzir dkk., 2015). Sedangkan dakwah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ali Mahfudh dalam bukunya Hidayatul Mursyidin, adalah upaya untuk mendorong individu menuju kebaikan dan bimbingan, mengajak mereka kepada hal-hal yang bermanfaat dan mencegah dari kemungkaran untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat (Aziz; 2019). Jadi smart dakwah adalah suatu model dakwah transformatif yang menggabungkan unsur-unsur tehologi dan teologi dalam menyampaikan pesan atau nilai-nilai agama melalui gerakan keteladanan di tengah masyarakat.Gerakan dakwah Islam di Indonesia senantiasa meningkat dan berkembang. Bagi umat Islam, dakwah telah menjadi kebutuhan esensial dalam pembinaan umat. Sebagai sebuah gerakan da’wah menjadi sarana edukasi untuk memajukan prinsip-prinsip Islam di dalam masyarakat. Saat ini da’wah telah menjadi penomena dengan berbagai strategi dan metode yang menarik. Untuk itu diperlukan upaya inovatif yang menggugah umat beragama. Apalagi ketika ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat kontemporer maka da’wah berubah menjadi profesi yang sangat strategis yang membutuhkan cara yang lebih profesional dan sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi.Di sinilah pentingnya smart dakwah ditekankan, yang menjadi fokus tulisan ini. Namun demikian, esensi konten dakwah yang efektif, yang krusial dalam penyampaian pesan dakwah, tetap terletak pada sumber-sumber ajaran Islam, terutama Al-Qur'an dan Hadits. Nabi Muhammad (saw) bersabda, "Aku telah meninggalkan dua perkara; jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan pernah tersesat: Al-Qur'an dan Hadits" (HR. Imam Malik).Sejumlah aspek yang berkaitan dengan fenomena tersebut menunjukkan bahwa dakwah cerdas dapat menjadi transformasi alternatif dari konsep ideal pertumbuhan keagamaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:Pertama: Urgensi kecerdasan komunikasi dakwahSejalan dengan fenomena kecerdasan komunikasi dalam dakwah, para da'i/da’iyah harus memperhatikan dampak terhadap pengembangan potensi umat dalam menjalani kehidupan mereka. Dalam konsep ini, komunikasi dakwah bukan sekedar pengetahuan tetapi juga keterampilan yang memerlukan latihan dan pendekatan yang tepat. Pendekatan dan pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi dakwah sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan kesadaran spiritual para da’i/da’iyah. Semakin tinggi kecerdasan emosional dan spiritual maka komunikasi dakwah akan semakin efektif. Sebaliknya, semakin buruk kemampuan komunikasi da’i/da’iyah maka efektivitas dakwahnya akan semakin rendah.Dalam konteks ini, da’i kondang KH. Zainuddin MZ (almarhum) pernah mengungkapkan kekagumannya kepada tiga tokoh yang terkait dengan dakwah: Bung Karno, Buya Hamka, dan Idham Kholid. Sejak di sekolah menengah, beliau secara konsisten mendalami karya-karya Hamka, sekaligus menganalisis gayanya. Mengenai gaya bicara, beliau menghormati dan meniru gaya bicara Hamka, yang dapat digambarkan sebagai oratoris sekaligus provokatif, tetapi dalam hal penalaran logis, beliau mengagumi Idham Kholid, sosok yang gagasan-gagasannya yang mendalam sulit dibantah oleh orang lain.Beliau juga belajar bersama KH. Syukron Makmun. Sepanjang pendidikan informalnya, beliau belajar tentang ilmu keguruan dari berbagai guru dari Mesir dan Indonesia. Mereka adalah KH. Muhsin Muhsad. Naim, KH. Ishak Darwis Jambek, dan Bayumin Muhammad Yusuf (Bahrul Ulum; 2013).Dakwah Islam lebih dari sekadar menyampaikan ceramah berbagai metode dapat digunakan untuk menyampaikan hukum/syari’at agama dalam mendidik umat. Meskipun dakwah Islam seringkali menyerupai ceramah keagamaan, dakwah Islam tidak dapat sepenuhnya bergantung pada pendekatan konvensional dalam masyarakat saat ini. Teknik-teknik ini harus dilengkapi dengan gaya dakwah baru yang mendorong kemampuan manajemen yang efektif. Dakwah ini harus disusun, dirancang, dan diorganisasikan ke dalam sebuah program yang harus dijalankan dengan cermat dan metodis.Bentuk wacana ini menggunakan pendekatan yang efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Artinya dakwah Islam tidak boleh dilakukan secara asal-asalan (amatir), tetapi harus dengan kecerdasan komunikasi agar mencapai standar profesional yang lebih efektif.Kecerdasan komunikasi dakwah akan lebih mendukung dan semakin efektif jika penerapan nilai dan etika dalam berdakwah menjadi bagian dari kemampuan kecerdasan komunikasi dakwah. Nilai tersebut adalah: a. adam al-ikrah fi al-din (menghargai kebebasan, menghormati hak asasi masing-masing individu dan masyarakat) b. adamul kharaj (menghindari kesulitan, kesempitan, dan kepicikan) c. daf al-ḍarar wa al-mufas}id (menghindari kemadharatan dan kerusakan) d. al-tadarruj (bertahap, gradual dan mengikuti proses) e. al-tawi wa al-taghyi (melakukan evaluasi secara sinergis dan bertahap) f. al-uswah wal-qudwah (berilah contoh dan suri tauladan yang baik) g. al-tatbiqi wa al amali (perbuatlah dan aplikasikan apa yang telah diucapkan). h. al-takrir wa al muraja’ah (teruslah melakukan pengulangan hingga audiens memahami) i. al-taqyim (evaluasilah kembali apa yang sudah disampaikan) j. al-hiwar (berkomunikasi dengan rasa kebersamaan dan kesetaraan) k. al-qisah (berceritalah dengan mereka agar terjalin kehangatan hubungan) l. al-dars (berilah mereka pengajaran yang dapat membangkitkan kemampuan akal mereka).( Sulaiman. 2002).Kedua: Digitalisasi Dakwah sebagai ModelTeknologi digital telah memudahkan akses informasi dan memungkinkan beragam interaksi sosial, termasuk komunikasi keagamaan, untuk dilakukan melalui proses digitalisasi da’wah sebagai strategi. Heath dan Bryan (2010) menggambarkan komunikasi sebagai suatu proses atau serangkaian tindakan di mana individu berkolaborasi menggunakan simbol-simbol yang dihasilkan melalui interaksi mereka.Dari perspektif ini, komunikasi memiliki sistem yang beroperasi untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Kumpulan sistem tersebut disempurnakan dengan teknologi yang menghasilkan berbagai model dan jenis komunikasi, seperti dakwah digital, sehingga memudahkan para partisipan komunikasi (umat) dalam menjadikan proses komunikasi lebih efektif dan efisien.Maraknya penceramah virtual di media sosial telah menyederhanakan proses da’wah di tengah masyarakat. Sehingga keberadaan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, benar-benar memberikan jawaban atas kegersangan batin bagi setiap individu ataupun bagi umat beragama yang lain. Meskipun konten yang dikategorikan sebagai dakwah Islam di media sosial tersebut berbeda-beda berdasarkan perspektif penceramah, baik yang bernuansa inklusif, maupun eksklusif.Efektivitas komunikator dakwah digital dalam melibatkan audiens berkaitan erat dengan kemampuan da'i/pendakwah untuk memanfaatkan kesempatan mengembangkan bakat unik mereka. Seorang da'i/pendakwah perlu memiliki keterampilan dan karakter untuk menyampaikan gagasan secara inovatif. Seorang da'i/pendakwah tidak muncul secara tiba-tiba atau langsung; melainkan, mereka berkembang seiring waktu menjadi pribadi yang bijaksana dan menarik.Kreativitas merupakan faktor penting bagi efektivitas retorika dakwah dan berkaitan erat dengan strategi dan teknik komunikasi yang digunakan dalam dakwah. Komunikasi yang efektif, yang menekankan pentingnya kreativitas dalam membentuk gaya komunikasi selama dakwah, sangatlah penting. Sehubungan dengan itu, teknologi informasi telah memungkinkan individu untuk terlibat secara aktif dalam kompleksitas kehidupan kontemporer.Di era masyarakat 6.0, pendekatan dakwah yang memanfaatkan teknologi melalui media sosial niscaya akan membantu para pendakwah dalam menyampaikan wawasan melalui platform-platform tersebut. Seiring perkembangannya, manusia telah berhasil pula mengembangkan kecerdasan buatan (AI) melalui penciptaan mesin-mesin pintar yang beroperasi dan berfungsi layaknya manusia. Secara umum, perbincangan seputar masyarakat 6.0 bersinggungan erat dengan berbagai gerakan dalam kehidupan sosial kontemporer.Bruno Salgues menyebutkan bahwa masyarakat 6.0 harus menekankan nilai kemanusiaan, yang menunjukkan sebuah model masyarakat baru yang memiliki kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Muchlas, 2022).Pada hakikatnya, peran teknologi informasi di dunia virtual melibatkan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses komunikasi da’wah. Model komunikasi yang diciptakan oleh dunia virtual merupakan jenis komunikasi massa yang melibatkan banyak individu dalam prosesnya.Dalam analogi ini, komunikasi da’wah berfungsi sebagai substansi, sedangkan dunia virtual bertindak sebagai wadah atau medium. Sebab itu digitalisasi da’wah sebagai model kecerdasan komunikasi menjadi strategi yang paling efektif dalam menyampaikan nilai-nilai moral agama.Dunia dakwah adalah dunia terbuka dimana setiap orang bebas menyampaikan ekspresi dan pesan moral baik berupa ucapan, perbuatan ataupun perilaku dengan tujuan untuk memperkenalkan, mengajak dan membimbing orang lain kepada jalan Tuhan. Mengajarkan doktrin, nilai dan pesan dakwah kepada masyarakat (umat) merupakan suatu kewajiban. Sebab itu agar tujuannya tercapai dengan baik memerlukan kecerdasan komunikasi.Dakwah tidak sekedar mengajak untuk berbuat kebajikan tetapi memiliki misi suci agama. Dalam ajaran Islam terkandung unsur-unsur nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan yang menjadi inti moral.Peran penting komunikasi da’wah dalam kehidupan manusia di era informasi yaitu;1). Komunikasi bukan hanya sekadar alat untuk mengirim dan menerima pesan, tetapi juga merupakan sarana utama bagi manusia untuk memahami satu sama lain, berkolaborasi, dan membangun hubungan sosial keagamaan. Kemampuan untuk berkomunikasi da’wah secara efektif memungkinkan pertukaran informasi yang kompleks, memfasilitasi pembelajaran, serta membentuk identitas individu dan kelompok; 2).Komunikasi da’wah dari masa ke masa membawa evolusi perkembangan budaya, teknologi, dan masyarakat, sehingga cara komunikasi manusia pun telah berubah secara signifikan.Dari bentuk komunikasi lisan dan visual di zaman purba, manusia mulai mengembangkan sistem tulisan yang memungkinkan penyampaian pesan dalam bentuk yang lebih abadi. Kemudian, penemuan telegraf dan telepon menghubungkan manusia melalui jarak jauh, sementara radio dan televisi membawa pesan ke seluruh dunia; dan 3). Teknologi dalam Era Informasi telah merevolusi cara manusia berkomunikasi. Internet dan media sosial memungkinkan interaksi real-time di seluruh dunia, menghapuskan batasan geografis. Pesan da’wah dapat disebarkan dengan cepat melalui platform digital, mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat secara global. Namun, teknologi juga membawa tantangan, seperti penyebaran informasi palsu dan kehilangan kedalaman dalam komunikasi interpersonal.Di era teknologi, dakwah memegang peranan penting dalam mengedukasi umat beragama. Masyarakat semakin bebas memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga teknologi dianggap mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan sosial-keagamaan. Namun hal itu tidak luput dari berbagai tantangan yang dihadapi.Diantara tantangan dakwah yang sedang kita hadapi adalah apa yang disebut “fundamental chang” yaitu perubahan cepat dan mendasar sebagai akibat dari kemajuan (revolusi) teknologi komunikasi dan informasi. Akibatnya timbul arus informasi dan budaya global yang terus mengalir deras dalam masyarakat. Disamping itu terjadi pula pergeseran paradigma keilmuan yang menuntut pendekatan baru da’wah yang multi disipliner bahkan transdisipliner.Hal itu membutuhkan cara dan strategi baru yang dapat mendobrak pola lama dalam da’wah. Selama ini da’wah tradisional memiliki wawasan yang sempit dan belum bisa menjangkau kebutuhan manusia secara menyeluruh terutama dalam kebutuhan social berbangsa dan beragama.Oleh karena itu, perlu menjadi penekanan dalam memproduksi konten dakwah virtual di media sosial yang bercorak inklusif dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi beragama. Ganggi menyatakan bahwa daya kritis literasi media sosial perlu memperhatikan tiga hal berikut; Pertama, berfikir sebelum posting konten. Kedua, apa yang harus dipost dan kapan dilakukan. Ketiga, bagaimana supaya postingan tersebut dapat diakses dan ditemukan oleh pencari informasi (Ganggi, 2018).Menurut Fairozi dan Ayu, digitalisasi dakwah dapat dilakukan dengan lima tahapan sebagai berikut; 1) Sentralisasi media dakwah;2) responsif dalam memunculkan problem solving;3) memberikan penekanan (emphasize) pada isu penting; 4) framming and authoritative ; 5) digital friendly (Ayu,2020).Ketiga: Smart Dakwah KeteladananPerlu disadari bahwa globalisasi dan segala dampak negatifnya dapat mempengaruhi sikap hidup beragama. Seluruh prinsif ajaran agama selalu mengajak umat beragama untuk ta’at dan patuh dalam menjalankan syari’at yang diajarkan agama tersebut. Untuk mewujudkan tujuan itu smart dakwah keteladanan menjadi alternatif.Smart dakwah keteladanan menjadi model ajakan melalui contoh dalam segala perilaku (akhlak) dalam mewujudkan tujuan mendasar dari agama. Menurut al-Maududi manusia modern harus diajak kembali untuk meng-uluhiyah-kan Allah dan melepaskan diri dari meng-uluhiyah-kan thaghut. Tujuan ini meliputi tiga unsur pokok yaitu: Pertama, Ajakan kepada seluruh umat manusia dan khususnya umat Islam agar hanya menyembah Allah swt, menjauhi syirik, dan tidak menjadikan selain Dia sebagai Tuhan (Illah) dan Pengatur(Rabb).Kedua; Setiap orang sejatinya memurnikan agamanya hanya karena Allah dan menyucikan diri sendiri dari berbagai penyakit nifaq dan dari amal perbuatan yang kontradiktif. Ketiga; Seluruh umat manusia di muka bumi diseru untuk melakukan perubahan revolusioner terhadap dasar-dasar pemerintahan yang dikuasai oleh taghut dan orang-orang sombong yang justru membuat kerusakan.Seorang da’i yang bijak berhasil memadukan kreativitas berda’wah yang dinamis dan khas dengan karakter yang ramah dan dapat diandalkan. Mereka dituntut kreatif dan inovatif dalam mengemas konten da’wahnya. Oleh sebab itu, ia harus mampu mengartikulasikan pesannya dalam berda’wah tanpa terkesan kaku, membosankan, atau berlebihan.Sebaliknya, seorang pendakwah yang berpengetahuan adalah individu yang senantiasa menghasilkan ide-ide segar dan memiliki visi yang luas, dipadukan dengan gestur yang menarik dan penampilan yang memikat, memastikan bahwa audiens benar-benar terpikat dan yakin akan keandalan dan kemampuan da’i tersebut dalam menyampaikan (mencontohkan) kebenaran-kebenaran esensial dalam berdakwah.Smart dakwah keteladanan adalah dakwah yang berbasis humanis. Dakwah ini menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam penyampaian pesan, menekankan nilai empati, penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, serta keterbukaan terhadap keberagaman yang perspektif (Fuchs, 2023).Prinsip ini sangat relevan saat ini sebab dakwah tidak hanya mentransmisikan pesan normatif, melainkan membangun praksis moral dan pemahaman bersama antara dai dan audiens. Paradigma humanis tersebut sejalan dengan etika dakwah Islam yang menekankan kelembutan dan penghormatan terhadap kondisi psikologis maupun kultural (Aziz, 2009).Al-Quran menegaskan pendekatan dakwah dengan kebijaksanaan (bi al-Ḥikmah), nasihat yang baik (mauʻiẓah ḥasanah), dan dialog terbaik (mujādalah bi allatī hiya aḥsan) (QS. al-Nah l [16]:125).Dakwah bukan sekadar transfer informasi keagamaan, tetapi juga interaksi etis yang mengajak manusia menuju kebaikan melalui cara-cara persuasif. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan empatik dalam dakwah digital lebih efektif dalam membangun keterhubungan emosional dengan audiens dibanding model dakwah normatif yang hanya sekedar menyampaikan pesan moral agama.Fakta menunjukkan bahwa transformasi digital telah mengubah lanskap dakwah secara signifikan. Era media sosial telah berhasil menguak keterbukaan informasi, interaktivitas, dan pola komunikasi yang semakin horizontal. Teori McLuhan (1964) tentang “the medium is the message” menegaskan bahwa media bukan sekadar sarana, melainkan bagian dari isi komunikasi itu sendiri. Dalam konteks dakwah, digitalisasi memungkinkan pesan Islam menjangkau audiens global, tetapi tanpa etika, ia berpotensi menimbulkan distorsi, misalnya melalui penyebaran ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama (Akbar, 2025).Fenomena viralitas konten ceramah di Indonesia membuktikan bahwa kecepatan distribusi pesan seringkali tidak diimbangi dengan akurasi dan adab komunikasi (Wijayanti dkk, 2022). Sebab itu dibutuhkan model keteladanan yang menjadi basis dakwah.Namun, salah satu tantangan besar dakwah digital adalah fenomena “selebritas dakwah” yang lebih menekankan popularitas dibanding substansi keagamaan. Fenomena ini tampak pada munculnya ustaz populer di media sosial yang lebih mengedepankan hiburan dan citra personal ketimbang pendalaman spiritual (Fitriansyah, 2023). Dalam perspektif Carl Rogers (1995), komunikasi yang efektif menuntut empati, penerimaan tanpa syarat, dan keaslian komunikator.Prinsip ini dapat menjadi tolok ukur etis bagi da’i/da’iyah digital bukan sekadar menyenangkan audiens, tetapi menghadirkan kejujuran dan keteladanan.Inter-aktivitas media sosial juga dapat melahirkan polarisasi ketika dakwah dilakukan tanpa kendali etika dan keteladanan dan akan menggiring konten dakwah kepada festival belaka. Ketoladanan dalam da’wah tidak cukup dalam ucapan dan perbuatan tetapi harus menjangkau toladan dalam lierasi seperti membaca dan menulis dalam mengembangkan dakwah. Dalam hal ini sangat penting mendasari dakwah dengan prinsip komunikasi yang digariskan oleh Imam al-Ghazali yakni; kejujuran, kehati-hatian dalam menyampaikan dalil, dan komitmen pada keadilan.Membaca dan menulis bagi pendakwah menjadi kewajiban utama sebagaimana pesan aktual AlQur'an surat al-Alaq 1-5. Prinsip klasik tersebut dapat di-re-kontekstualisasi ke dalam realitas digital, misalnya kejujuran diwujudkan melalui verifikasi konten sebelum disebarkan, kehati-hatian diwujudkan dengan seleksi sumber otoritatif, sedangkan keadilan diwujudkan dengan menghindari narasi yang mendiskreditkan kelompok lain.Tantangan kontemporer seperti algoritma media sosial menjadikan prinsip al-Ghazali di atas semakin penting sebagai pedoman kritis agar dakwah digital agar tidak jatuh pada ujaran kebencian yang eksklusif dan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Akhirnya kita berharap, melalui smart dakwah, konten-konten yang mengandung pesan dakwah yang berisi nilai-nilai agama (Islam) diinternalisasikan melalui media ke dalam perilaku sosial-individual para pengguna media (masyarakat/umat) sesuai dengan trend dan dinamika perkembangan zaman saat ini. ***