Qurban Jamuan Suci Menjemput Cinta

Qurban Jamuan Suci Menjemput Cinta

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir,S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Ibadah qurban merupakan perintah Allah SWT yang memiliki tujuan suci. Diantara tujuan tersebut adalah untuk menjemput cinta Sang Maha Pencipta. Disamping sebagai ritual yang diperintahkan setiap tahun, ibadah qurban bertujuan memperluas fungsi-fungsi sosial kemanusiaan melalui pendistribusian daging hewan qurban. Dalam fungsi sosial kemanusiaan qurban menjadi jamuan suci yang dipersembahkan kepada Allah yang bermanfaat bagi manusia.

Ibadah qurban memiliki pesan moral yang memperkokoh hubungan kemanusiaan. Ia berfungsi membebaskan manusia dari pola hidup ego-sentris menuju social-sentris. Kita diajak untuk keluar dari tawanan dunia materi, agar kekuatan ruhani dan nurani menjadi lebih tajam, aktif dan aktual sehingga kita sanggup membedakan antara jalan benar dan jalan yang salah. Disini kita dibimbing untuk menghayati kedekatan Tuhan menuju cinta-Nya.

Dalam sejarah panjang kenabian, qurban merupakan jejak sejarah Nabi Ibrahim AS dalam mempersembahkan jamuan suci kepada Allah melalui simbol penyembelihan Ismail. Nabi Ibrahim, telah mengurbankan Ismail atas perintah Allah. Peristiwa ini menjadi awal kewajiban perintah ibadah qurban bagi umat islam. Hari penyemblihan hewan qurban tersebut dinamakan hari Idhul Adha.

Idul Adha adalah hari bagi umat Islam mengenang peristiwa pengorbanan di bumi. Pengorbanan seorang ayah dan anak dalam menjalankan perintah Allah. Peristiwa saat Ibrahim, khalilullah (kekasih Allah) diuji dengan perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail. Peristiwa ini diabadikan dalam narasi Al-Qur'an (QS. 37, 100-113): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku seorang yang saleh.” Maka Kami beri kabar kepadanya dengan seorang anak yang baik. Maka tatkala ia (Ibrahim) telah cukup umur untuk berjalan bersamanya, berkatalah ia: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku harus menyembelihmu.” Maka lihatlah, apa pendapatmu?” Ia berkata: “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang yang teguh pendirian.” Maka tatkala keduanya telah berserah diri (kepada Allah) dan Ibrahim telah menundukkannya, Kami berseru kepadanya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mewujudkan mimpimu itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang baik. Sesungguhnya yang demikian itu adalah ujian yang nyata. Kemudian Kami tebus dia dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami tinggalkan baginya (ucapan) salam di antara orang-orang yang kemudian: “Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang baik.” Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami telah memberi kabar kepadanya tentang kelahiran Ishaq, seorang nabi dari orang-orang yang saleh. Dan Kami memberkahi dia dan Ishaq. Dan di antara keturunan mereka ada yang berbuat baik dan di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dengan nyata.” (QS. 37:100-113).

Dalam ayat di atas Allah memberikan limpahan Rahmat kepada Ibrahim berupa cinta yang menghunjam dalam jiwanya. Nabi Ibrahim mengenal Allah melalui cinta dan ketaatan yang tulus. Ia terbakar oleh api cinta sehingga walaupun berat rasanya perintah itu, namun tetap dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas.

Menurut ahli tasawuf Nabi Ibrahim telah sampai kepada maqam cinta yang hakiki. Dia telah mampu mendengarkan bisikan hatinya dan tidak lagi mampu dan berdaya untuk lari darinya. Hati orang yang sampai ketahap itu selalu membisikan cahaya-cahaya cinta: “Wahai para pencinta zat yang Maha Kekal dan para pendamba kekasih suci, wahai kupu-kupu yang mengitari Keindahan Yang Maha Mutlak, wahai laron-laron yang terbakar api keindahan zat yang sempurna, wahai musyafir yang terkurung dalam lembah kemabukan cinta, kembalilah kalian pada fitrah. Bukalah lembaran-lembaran jiwa kalian dan segera kalian akan mengetahui bahwa zat yang Maha Kuasa telah menggariskan suatu ketetapan, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah swt, tetaplah atas fitrah Allah yang dengannya Dia menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, meskipun kebanyakan manusia tidak mengetahui (Qs.Ar-Rum 30).

Pemotongan hewan qurban disebut juga dengan dzabia atau udhiyah atau qurban yang berarti hewan qurban sebagai ritual. Dalam konteks syariat Islam, pemotongan hewan qurban yang disebut dzabia hanya dilakukan pada hari raya Idul Adha. Pemotongan hewan qurban harus dilakukan setelah salat Ied pada hari Nahr (Idul Adha) hingga hari terakhir Tasyriq (hari ke-13 Zulhijjah dalam kalender Islam).

Pemotongan hewan qurban yang dilakukan setiap Hari Raya Idhul Adha merupakan perintah Allah swt kepada orang islam untuk berbagi rejeki kepada orang lain. Perintah ini adalah bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak. Disamping itu ibadah qurban merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan Allah swt yang khas dalam bentuk ritual-sosial keislaman.

Terdapat pandangan lain, James G. Frazer, seorang antropolog memahami pemotongan hewan qurban adalah sebagai bentuk pengusiran setan dari suatu kejahatan. Dalam pengertian lain ibadah qurban diyakini memiliki unsur sakral yang dapat menyucikan batin. Hal ini terjadi apabila ibadah qurban berhasil melampaui symbol yang bersifat profan menuju substansi yang bersifat sakral yaitu mengorbankan sifat kebinatangan (syaitan dan kejahatan) dalam diri seseorang. Henri Hubert dan Marcel Mauss memberikan kontribusi penting dengan membedakan pengorbanan dari bentuk-bentuk persembahan ritual lainnya melalui prinsip pengudusan (pensucian).

Keduanya percaya bahwa pengorbanan menjadi perantara kedatangan atau kepergian yang Ilahiyat. Menurut Hubert dan Mauss, “pengorbanan adalah suatu prosedur yang terdiri dari pembentukan komunikasi antara dunia sakral dan profan, melalui perantara korban, yaitu, sesuatu yang disucikan yang dihancurkan selama upacara” (1964:97). Dalam setiap pengorbanan, suatu objek berpindah dari ranah umum ke ranah keagamaan. Beginilah cara pengorbanan dinyatakan sakral.

Dalam kisah Al-Qur’an, Allah telah menyoroti beratnya ujian yang diberikan kepada Ibrahim. Ujian tersebut berfungsi untuk mengetahui sejauh mana batas kekuatan mental, fisik, dan emosional manusia, serta keimanannya. Dalam hal ini, Allah mengakui ketulusan Ibrahim dalam memenuhi perintah Allah dan diterima persembahannya dengan memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan seekor domba jantan sebagai ganti Ismail. Karena keteguhan hati dan komitmennya untuk menegakkan perintah Allah, sehingga Allah menempatkan Ibrahim as ke dalam jajaran para Nabi-Nya yang dikenal sebagai “Ulul ‘Azmi”.

Ibadah qurban merupakan salah satu ibadah ritual dan sosial sekaligus. Ia memiliki pondasi kuat dan memiliki akar sejarah panjang dalam tradisi para rasul terdahulu. Ajaran qurban dan praktiknya telah ditunjukkan secara sinergik oleh para nabi dan rasul hingga Nabi Muhammad SAW. Namun, nabi Ibrahim dikenal sebagai peletak dasar pertama ibadah ini. Peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim as terhadap putranya Isma'il as merupakan dasar bagi adanya ibadah qurban. Nabi Ibrahim as dengan penuh iman dan keikhlasan bersedia untuk menyembelih anak kesayangannya Ismail, hanya semata-mata untuk memenuhi perintah Allah. Peristiwa yang mengharukan ini, dilukiskan dengan indah dalam AlQur'an: "Tatkala anak itu sampai umurnya dan sanggup berusaha bersamasama Ibrahim. Ibrahim berkata; Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. la menjawab, wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".(QS As-Shaffat: 102).

Ayat diatas menggambarkan ujian ketaatan dan cinta Nabi Ibrahim kepada Allah. Di kemudian hari, pengorbanan ini menjadi anjuran bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban, setiap 10 Dzulhijah dan pada hari tasyrik, yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Deskripsi historis Nabi Ibrahim diatas menggambarkan bahwa, keteguhan hati, keyakinan akan kebenaran perintah Allah, keikhlasan, keta’atan, dan kesabaran adalah esensi yang melekat dari ibadah qurban. Nilai-nilai ini telah diimplementasikan dengan baik oleh Nabi Ibrahim dan Ismail dalam peristiwa yang mengharukan itu. Kesanggupan Nabi Ibrahim. menyembelih anak kandungnya sendiri Ismail, bukan semata-mata didorong oleh perasaan taat setia yang membabi buta (taqlid), tetapi meyakini bahwa perintah Allah itu wajib dipatuhi.

Api cinta dan ketaatan telah berkobar di hati Ibrahim. Dia tidak lagi merasakan berat dalam menjalankan perintah Allah, nuraninya bercahaya dan sikap batinnya tulus dalam setiap ikhtiarnya. Ibrahim adalah contoh pemimpin yang memiliki nurani yang hidup dan tajam.

Jika kita sedikit mendialogkan dengan kondisi saat ini. Masih ada kita temukan sosok pemimpin atau penguasa yang belum memiliki kesadaran nurani sehingga belum mampu mencontoh kepribadian nabi Ibrahim. Padahal pemimpin atau penguasa yang tidak memiliki nurani yang tajam akan berakibat buruk dalam kepemimpinanya.

 

Seorang penguasa yang memiliki hati yang tumpul rasa malunya sirna, dan kemudian digantikan dengan sikap serakah dan arogan, yang merugi tidak hanya dirinya tetapi rakyat akan ikut disengsarakan.

Dalam konsep self-denial atau kesanggupan mengelak dari nafsu hewani sesungguhnya sejak ribuan tahun telah diajarkan oleh Nabi Ibrahin. Ibarat api, nafsu tidak mengenal volume dan selalu ingin memakan serta menghanguskan apa saja yang berada di sekitarnya. Nafsu yang tidak pernah padam pada setiap dada anak manusia harus dikontrol dan dikendalikan agar fungsi dan perannya menjadi proporsional dan berdaya guna untuk menggerakan roda kehidupan sehingga hidup menjadi produktif dan jauh dari keserakahan.

Penting kita renungkan saat ini, meningkatnya kriminalitas, menjamurnya para koruptor, rendahnya moralitas pejabat tidak terlepas dari keserakahan sekelompok minoritas dari bangsa ini.

Terlebih lagi jika nafsu serakah itu menghinggapi mereka yang memiliki kekuasaan. Ketentraman sosial akan terganggu, korupsi semakin meraja lela, masyarakat merasa kehilangan panutan dan nilai-nilai suci agama direndahkan. Itulah akibat pemimpin atau pejabat yang tidak sanggup menngekang nafsu serakahnya.

Pohon dan buah kebajikan yang terkandung dalam nilai suci agama semestinya dipupuk dan dilindungi untuk memelihara ekologi moral dan sosial, dirusaknya sehingga masyarakat yang tidak berdosa harus ikut menanggung krisis yang ditimbulkannya.

Dosa-dosa telah berkuasa, rasa malu telah tiada, sehingga batas antara yang halal dan yang haram tidak bisa lagi di bedakan. Seakan-akan masyarakat telah berubah menjadi kelinci percobaan dalam setiap penerapan kebijakan dan keputusan. Tentu semua itu tidak kita inginkan terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Akhirnya melalui momentum Idhul Adha tahun ini diharapkan bangsa kita mampu menjadikan spirit ibadah qurban seperti tumbuhnya pohon kebajikan yang dapat berfungsi sebagai pembeda mana yang halal dan mana yang haram serta tumbuhnya ekologi moral di tengah masyarakat sehingga qurban yang kita persembahkan dapat menjadi jamuan suci menuju cinta yang abadi. **

LINK TERKAIT