Mengenal Allah Melalui Spiritual Intelligence
Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,”( QS. Al-A’raf;172).Manusia diberikan potensi untuk mengenal diri dan lingkungannya. Namun manusia tidak akan sampai kepada pengenalan hakiki tanpa mengenal Sang Penciptanya. Dalam diri manusia terdapat sejumlah kecerdasan yang dapat diasah untuk mengenal sesuatu yang bersifat abstrak (gaib).Pengetahuan yang bersifat rasional tidak cukup menjelaskan sesuatu yang gaib, sebab intelektualitas hanya dapat menyimpulkan sesuatu yang bersifat kongkrit (nyata). Tetapi disinilah kelebihan manusia diciptakan Allah swt. Ia dapat mengetahuai sesuatu yang gaib dan sekaligus yang nyata.Mengenal Allah dengan akal intelektual berbeda dengan mengenal melalui akal spiritual. Kedua adalah potensi yang diciptakan untuk manusia sebagai makhluk ciptaan terbaik. Dua potensi besar tersebut dapat dikembangkan dengan proses aktualisasi fungsi-fungsi kecerdasan akal.Dalam diri manusia terdapat dua macam kecerdasan akal yaitu akal-spiritual dan akal-intelektual. Manusia yang cerdas secara akal-intelektual belum tentu dapat megetahui sesuatu yang bersifat abstrak. Tetapi manusia yang cerdas secara akal-spiritual mampu mengetahui sesuatu yang bersifat gaib dan nyata sekaligus. Potensi kecerdasan seperti itu dilakukan melalui kecerdasan spiritual reason (‘aqal ruhani). Akal ruhani adalah akal yang bersifat abstrak, yang mampu memperoleh pengetahuan non-fisik atau metafisik, dan sering dikaitkan dengan qalbu (hati nurani).Akal ruhani bersifat knowledgeable terhadap sesuatu, baik yang gaib maupun yang nyata. Orang yang memilikinya akan mengenal sesuatu secara hakiki. Dalam masyarakat modern ‘kqal ruhani selalu diabaikan karena hasil pengetahuannya dianggap tidak ilmiah dan rasional. Padahal melalui akal ruhani Allah ingin manusia mengenal-Nya. Oleh sebab itu dalam pandangan akal ruhani manusia modern adalah orang yang telah dibodohi oleh akal intelektualnya. Mereka menganggap dirinya dapat mengupas tuntas segala ilmu pengetahuan yang ada. Padahal bisa jadi pengetahuan mereka tentang dirinya sendiri masih buta apalagi pengetahuan tentang Allah SWT.Dalam tasawuf Allah ingin memperkenalkan diri-Nya kepada manusia agar manusia dapat menyembah-Nya dengan benar tanpa keraguan. Ia mengenalkan diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang agung. Diantara sifat Allah itu adalah Yang Maha Ber-Ilmu. Allah memiliki ilmu bukan dengan suatu kalimat ataupun kitab dan tidak juga terurai dalam lisan. Namun ilmu-Nya mampu menguraikan seluruh kitab-kitab walaupun dalam keadaan sekejab. Untuk mengenal Allah Yang Maha Berilmu itu para ulama sudah banyak menyingkapnya.Dalam artikel ini penulis menjelaskannya sebagaiberikut:Pertama: Mengenal kecerdasan Cahaya Qalbu (CQ)Cahaya Qalbu adalah nur yang memancar karena kesucian batin. Potensi ini dapat dicapai dengan menjaga diri dari perbuatan dosa dan penyakit hati serta menghindar dari sesuatu yang subhat. Dari hati yang suci akan terpancar cahaya kebenaran. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tersingkapnya hal-hal gaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena Nur Ilahi yang dipancarkan oleh Allah ke dalam dada (hati) seseorang.Artinya kita dapat lebih mengenal esensi kemanusiaa kita yang tercipta dari pancaran Nur Ilahi dalam hati yang suci. (Imam al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal; 1984). Apabila Tuhan telah menembus hati hamba-Nya dengan Nur-Nya, maka rahmat dan karunia-Nya akan semakin mudah diraih oleh hamba-Nya. Pada tingkat ini, hamba Allah akan bercahaya terang, dadanya akan terbuka luas dan lapang dan terangkatlah tabir rahasia alam malakut dengan karunia rahmat tersebut.Cahaya Qalbu adalah karunia Allah SWT yang amat besar. Para ahli sufi mengambil landasan argumentasi dari firman Allah dalam QS. Al-Nur/24:35 yang menyebutkan bahwa Allah (pemberi) Nur (cahaya) kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah bagaikan misykat (lubang yang tidak tembus) di dalamnya terdapat pelita besar (mishbah). Menurut al-Tusturi, maksud kata matsalu nurihi (perumpamaan cahaya Nur-Nya) adalah perumpamaan Nur Muhammad (Abu Muhammad Sahal Ibn Abdillah al-Tusturi, t. th).Kecerdasan intelektual tidak mampu menembus kegaiban sifat-sifat Allah SWT Yang Maha Agung. Setinggi apapun tingkat kecerdasan otak manusia tidak akan sanggup mengenal sifat-sifat Allah yang Maha gaib. Intelektual hanya bisa menjelaskan melalui ungkapan bahasa fikiran (language of thought) tentang sesuatu yang logis dan imaginative. Sementara Cahaya Qalbu (CQ) dapat menembus kedalaman ma’rifat yang ada dalam mata hati yang dapat mengenal sifat-sifat-Nya.Disitulah letak kecerdasan ilmu yang hakiki. Para ulama tasawuf sepakat bahwa suatu ilmu jika dipahami melalui intelektual bukanlah dikatakan ilmu. Maka ilmu menurut Allah SWT adalah apabila ia berada dalam pemahaman qalbu (rasa) dan terjelma dalam perbuatan hati dan tindakan amal.Orang yang cerdas menurut pandangan ini adalah orang yang dapat mengarahkan ilmu pengetahuan dunia kepada sumber ilmu pengetahuan yang hakiki. Jika mereka mereguk dan memiliki ilmu hakiki tersebut maka tunduklah seluruh ilmu pengetahuan yang ada kepadanya. Seluruh ilmu pengetahuan milik Allah SWT. Dia memiliki ilmu yang tak terbatas, Ilmu-Nya tak dapat ditampung oleh wadah apapun di dunia kecuali hati manusia yang bersinar dengan cahaya kerinduan kepada-Nya dengan keikhlasan dan kesungguhan.Kita dapat mengenal Allah melalui CQ terhadap sesuatu yang tersembunyi dari ciptaan-Nya. Walaupun Allah swt menciptakan nafsu yang tersembunyi, namun nafsu itu tetap dicintai apabila nafsu itu hilang dari sifat kemanusiaan. Sifat nafsu (kegelapan) tidak akan hilang keberadaannya tetapi dapat terhalang dari kemauannya.Nafsu yang terhalang kemauan akan menjelma menjadi cahaya hati yang penuh rasa rindu kepada-Nya. Allah mencintai hati yang demikian. Seseorang yang memiliki CQ Allah SWT senantiasa dekat dan berdampingan dengannya karena pengetahuan yang ditunjuki Allah dalam qalbunya selalu memandang dan merasakan kehadiran-Nya.Manusia selalu dibodohi oleh pengetahuannya sendiri dan miskin dalam kekayaannya. Kepintarannya yang dianggap membawa kesuksesan di atas puncak keberhasilan ternyata menyebabkan ia menjadi tuli dan bodoh. Hal itu disebabkan oleh manusia itu menjauh dari Allah swt. Sebab itu jika kita selalu mendekat kepada-Nya maka Allah senantiasa mendekatkan tanda-tanda-Nya kepada hamba yang merindukan-Nya.Kedua: Mengenal Allah dengan rasa (flavor).Dalam kajian tasawuf rasa dikenal sebagai unsur ruhani yang dapat menangkap tanda-tanda kebesaran Allah swt. Rasa adalah pengetahuan yang diciptakan Allah tanpa perkataan dan huruf namun ia dapat menembus segala arti dan makna dari segala ungkapan maupun tulisan yang menghijab diri seseorang. Pengetahuan rasa dapat melepaskan diri seseorang dari pengetahuan yang lahir dari huruf dan bilangan. Ia akan menghidupkan pengetahuan Allah yang ada pada rasa itu sendiri. Pengetahuan Allah pada rasa tidaklah nyata, tidak berhuruf dan berbilang. Sebab itu rasa tidak memandang Allah swt dengan segala bentuk huruf dan bilangan karena ia akan menghijab seseorang dalam kata dan hitungan.Manusia dapat mengenal Allah SWT tanpa pengenalan, dapat mendekat-Nya tanpa berjarak karena menjadikan rasa sebagai tempat memandang-Nya sehingga cukuplah pengetahuan rasa untuk mengetahui keberadaan-Nya. Pengetahuan rasa wajib diamalkan. Seseorang yang tidak mengamalkannya termasuk sebodoh-bodoh manusia.Berjalanlah dengan pengetahuan rasa agar tidak menimbulkan keraguan. Rasa akan membawa seseorang kedalam terang benerang sehingga tidak bingung dalam menentukan kebenaran. Tanpa rasa manusia tidak sanggup menghadapi ujian. Dunia dan hawa nafsu adalah ujian terberat dalam menuju Allah SWT. Hukum-hukum Allah diciptakan menjadi dinding pagar terhadap godaan hawa nafsu manusia. Nafsu adalah binatang yang paling buas dan berbahaya dalam diri manusia.Berbeda dengan hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia dibatasi oleh waktu, dikendalikan oleh masa serta dapat dinafikan dengan keadaan. Dan bahkan dapat dikhiyanati oleh yang membuat hukum itu sendiri. Tetapi hukum Allah SWT tidak lapuk dalam waktu tidak pudar dengan masa dan tidak dapat dibantah oleh siapapun, sebab hukum Allah selalu sejalan dengan hati nurani setiap manusia. Allah melarang menjadikan hukum-hukum-Nya sebagai tujuan kehidupan, sementara mereka jauh dari hati yang menyentuh keberadaan-Nya dalam diri mereka. Allah swt, menjadikan hukum-hukumnya sebagai pakaian dalam hidup, sehingga diri manusia menjadi bagian dari keindahan-Nya serta sebagai bentuk keindahan sifat-sifat-Nya.Ketiga: Mengenal kesempurnaan Allah SWTMengenal kesempurnaan Allah SWT adalah usaha menuju kesempurnaan iman. Kekuatan iman sangat ditentukan oleh besarnya pengenalan seseorang kepada Tuhannya. Terkait dengan hal itu berbagai literatur klasik dan kontemporer telah membahas sifat, nama, dan perbuatan Allah dari berbagai sudut pandang. Karya-karya seperti Tafsir Al-Qur'an, kitab-kitab akidah, dan kajian tasawuf memberikan landasan yang kokoh dalam memahami ke-Esaan Allah (Az-Zuhaili, 1991). Namun, tantangan terbesar bagi manusia saat ini adalah bagaimana mengenal kesempurnaan-Nya dan pemahaman tersebut dapat diterjemahkan ke dalam pembuktian yang kontekstual sesuai perkembangan zaman (Nasution, 2022).Manusia adalah makhluk yang lemah di hadapan Allah SWT. Ia tidak mampu mengenal kesempurnaan Allah SWT tanpa bimbingan-Nya. Allah membimbing manusia ketika manusia itu ingat kepada-Nya. Semakin sering manusia itu mengingat Allah semakin banyak bimbingan-Nya kepadanya. Sebaliknya semakin jauh dari mengingat-Nya semakin menjauh bimbingan Allah kepadanya. Sebab itu manusia selalu diminta berdo’a (baca: shalat) kepada-Nya dengan segala yang tersirat dalam hati karena hal itu adalah bentuk kejujuran hati seorang hamba kepada Allah SWT.Meminta sesuatu kepada Allah SWT harus dilakukan dengan khusu’. Orang yang berdoa dengan khusu’ menghadirkan kemurahan Allah. Allah tidak menilai seseorang berdasarkan motif dan usahanya. Sebaliknya, Dia menilai mereka berdasarkan ketulusan doanya. Tanamkan komitmen itu di dalam hati, bukan pada tindakan dan perilaku mereka. Niat dan tindakan yang tulus akan berubah menjadi jumlah tasbih yang membuka genggaman rahmat Allah yang tak terbatas.Keempat: Mengenal ungkapan ruhaniUngkapan ruhani adalah ungkapan kebenaran (al-Haq). Ia sampai kepada Allah apabila terlepas dari ikatan-ikatan huruf yang keluar dari kajahilan pikiran (kekuatan nafsu). Jika kejahilan pikiran masih menguasai diri maka hijab dengan Allah tidak akan terbuka sehingga seseorang hamba tidak mungkin bisa datang kepada-Nya. Ketika pikiran belum dilepaskan ketika itu ruh masih meliputi jasad maka sa’at itu Allah swt memanggil dengan manusia. Namun ketika rasa telah meliputi jasad dan jiwa maka Allah memanggil seseorang dengan hamba. Setelah itu Allah akan meliputi dengan sifat-sifat-Nya maka saat itulah Allah memanggil hamba-Nya dengan Sang Kekasih. Disaat dipanggil sebagai Sang Kekasih, Allah swt, senantiasa menghendaki manusia selalu meminta ampun dengan keyakinan dan keikhlasan serta mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Dalam Syukur itu sang kekasih menemukan dirinya dalam keadaan berserah diri kepada Allah semata.Menurut penulis, manusia memiliki dua macam ungkapan yaitu ungkapan ruhani dan ungkapan jasmani. Ungkapan ruhani adalah ungkapan gaib yang dapat menjelaskan kebenaran mutlak sebagaimana yang kita kemukakan di atas. Sementara ungkapan jasmani adalah ungkapan kata-kata verbal berupa kalimat narasi yang menjelaskan informasi.Dalam kalangan kaum sufi kata-kata verbal selalu mengalami krisis kepercayaan. Mereka tidak meyakini ungkapan kata-kata karena tidak sanggup menjelaskan hakikat sesuatu. Sebab itu ketika mulut berhenti bicara, dan deretan huruf kitab suci terhapus dari pandangan mata, kemudian suara dan tulisan lenyap disa’at itulah pena hati bersuara melukiskan keindahan Allah Yang maha Kuasa.Dalam teori bahasa, terdapat apa yang dinamakan dengan referecial theory atau disebut juga dengan picture theory. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran makna dari sebuah ungkapan dan pernyataan terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan obyek yang ditunjuk (Komaruddin Hidayat;2011).Teori ini, dengan dukungan kekuatan penalaran logis (the power of logical thingking) sangat dominan dalam alam pikiran modern dan metodologi ilmu pengetahuan alam yang bersifat positivistic. Namun hal itu tidak berlaku dalam penalaran spiritual. Kebenaran hakiki tidak dapat ditetapkan dengan argumentasi intelektual karena hakikat kebenaran itu bersifat gaib dan mutlak yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Demikianlah, bahwa mengenal dan pemahaman akan Tuhan Yang Maha Kuasa hanya dapat dicapai melalui kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang melampaui kecerdasan intelektual. Meskipun masyarakat kontemporer telah mengakui dan memanfaatkan kekuatan intelektual untuk membangun kemajuan dan peradaban dunia modern seperti saat ini. ***