Mencintai Ilmu (Loves Knowledge)

Mencintai Ilmu (Loves Knowledge)

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Dalam sebuah nasihat Imam Syafi’i, terdapat khazanah keilmuan yang sangat mendalam. Beliau membuka tabir wawasan ilmu pengetahuan yang amat berharga terutama bagi pecinta ilmu pengetahuan.

Beliau mengemukakan bahwa terdapat enam unsur pokok yang menjadi penentu bagi penuntut ilmu untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik:

Pertama; Unsur kecerdasan (intelligence). Kecerdasan adalah bagian dari sekian banyak nikmat Allah SWT yang luar biasa bagi manusia, dan memberikan keunggulan dibandingkan dengan spesies lainnya. Manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya melalui pemikiran terus-menerus dan proses belajar dengan kecerdasan.

Dalam bahasa arab kecerdasan disebut “al-dzaka”yang artinya pemahaman, intensitas dan kecakapan akan sesuatu dengan lengkap (Maksum, 2020).

Ulama membagi kecerdasan menjadi dua bagian. Pertama disebut dengan kecerdasan muhibatun minallah yang diberikan Allah SWT. Kedua disebut dengan kecerdasan muktasab yang didapatkan dengan usaha seperti mencatat, mengulang materi pembelajaran, berdiskusi dan sebagainya. Hal ini juga sejalan dengan pendapatnya Dr. Fahruddin Faiz, dalam kajiannya beliau menyebutkan dalam menafsirkan kecerdasan disini bukanlah berada pada level IQ akan tetapi kecerdasan disini dalam arti mau berpikir, mau menganalisis dan mau menalar. Oleh karenanya, bekal utama yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah kecerdasan berupa kemauan untuk senantiasa mengulang pelajaran, mencatat, menalar dan menganalisis.

Saat ini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia telah berhasil mengembangkan kecerdasan yang disebut Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI). Kecerdasan buatan (AI) adalah kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi yang telah berkembang pesat dalam dekade terakhir.

Penerapan AI dalam industri melampaui telekomunikasi, mencakup perbankan, manufaktur, jasa, dan bahkan pemerintahan. Di beberapa negara, adopsi kecerdasan buatan hampir mencapai 56%, terutama di sektor industri (Vasiljeva dkk; 2017).

Di Indonesia, kecerdasan buatan (AI) mengacu pada kecerdasan yang terintegrasi ke dalam suatu sistem untuk menganalisis data eksternal secara akurat, menanganinya, dan menerapkan data yang diolah untuk tujuan yang ditentukan (Goralski; 2020).

Melalui AI manusia dapat belajar dengan mudah untuk mengembangkan pengetahuan. Namun penggunaan AI harus dengan bijak untuk tujuan produktif mengembangkan diri bukan untuk hanya sekedar meniru dan mencontoh teori-teori pengetahuan dan pengealaman orang lain.

Kedua: Unsur semangat (Spirit) dan motivasi. Semangat dan motivasi dalam menuntut ilmu sangatlah dibutuhkan, sebab semangat inilah yang akan berperan penting dalam menghadapi situasi dan kondisi yang dilalui seorang penuntut ilmu. Dengan kobaran semangat penuntut ilmu akan selalu mencari jalan dari belenggu kemalasan. Yahya Ibnu Abi Syakir menyatakan; ‘laa yustato’u ‘ilma birohatil jismi,’ yakni tidak bisa didapatkan ilmu bagi orang yang bermalas-malasan dan berleha-leha.

Kita bisa melihat contoh ulama terdahulu dalam mencari ilmu dalam meningkatkan semangat dan motivasi diri, seperti Jabir bin Abdullah yang melakukan perjalanan dari Madinah ke negeri Syam, perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, dengan tujuan semata-mata untuk memperoleh sebuah hadits dari Abdullah bin Unais, dan Imam Ahmad bin Hambal, yang rela keluar rumah sebelum subuh hanya untuk belajar pada gurunya.

Demikian pula ulama yang sedang kita bicarakan yakni, Imam Syafi'i yang hafal Alquran pada usia tujuh tahun dan kitab Muwatha' Malik Ibnu Anas pada usia sepuluh tahun dan hanya butuh waktu sembilan hari untuk menghafalnya, padahal kitab tersebut merupakan salah satu karya terbaik setelah AlQur'an saat itu. Semua itu tentunya didorong karena ada semangat dan motivasi yang besar agar mereka mampu menghafal AlQur'an di usia muda. Dan banyak sekali ulama-ulama unggulan dari ulama-ulama lain yang menuntut ilmu dengan berbagai keterbatasan pada masanya hingga meninggalkan kitab-kitab yang sangat bermutu bahkan menjadi pelita ditengah-tengah umat saat ini.

Ketiga: Unsur kesungguhan (sincerity). Seorang yang menuntut ilmu haruslah memiliki kesungguhan yang dibuktikan dengan ketekunan, karena tanpa kesungguhan dan ketekunan belajar seseorang tidak akan menghasilkan pengetahuan yang maksiamal. Apalagi belajar ilmu agama yang begitu mulia tentu tidak akan dapat dicapai dengan kemalasan, maka seyogianya seorang penuntut ilmu harus bisa meluangkan waktu dalam mengulang segala ilmu pengetahuan yang didapatkannya.

Hal ini ditunjukkan dengan kesungguhan Imam Syafi'i untuk menuntut ilmu dan mengulang pelajaran, dimana Imam Syafi'i membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian, sepertiga malam pertama digunakan untuk belajar dan menulis, sepertiga malam kedua dihabiskan buat beribadah dan sepertiga malam ketiga dihabiskan buat beristirahat dari hal-hal yang melelahkan di waktu pagi (Hidayat, 2018). Penuntut ilmu harus memiliki kesungguhan dari dalam hatinya dan bukan secara asal-asalan saja.

Keempat: Unsur modal (capital). Modal disini bukan bermakna banyaknya harta seseorang, akan tetapi bermakna kesediaan dan kerelaan hatinya untuk mengeluarkan biaya dalam meraih ilmu pengetahuan. Penuntut ilmu harus siap hidup sederhana dan jauh dari gemerlapnya dunia perkotaan, bersedia untuk bersusah-susahan dalam meraih ilmu. Banyak kisah ulama yang bisa kita kita jadikan teladan dalam kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan modal/uang dalam mencari ilmu pengetahuan salah satunya kisah Imam Malik yang rela membongkar atap rumahnya demi bisa menuntut ilmu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al-Qasim; “Disebabkan karena mencari ilmu Imam Malik bersedia membongkar atap rumahnya dan menjual kayunya, setelah itu dunia berdatangan kepadanya”.

Kelima: Unsur hubungan baik (good relationship) dengan guru. Hubungan baik dengan guru disini maksudnya adalah “adanya petunjuk dari guru”. Karena seorang penuntut ilmu agama tidaklah cukup hanya sebatas belajar sendiri, mendengarkan youtube, podcast, FB dan sebagainya atau membaca buku terjemahan apalgi belajar ilmu agama. Namun harus dibimbing oleh seorang guru yang berilmu lebih luas yang selanjutnya dapat dijadikan panutan yang tepat dalam membimbing, mengarahkan, dan mentrasfer ilmu pengetahuan. Karena dikhawatirkan belajar tanpa bimbingan dan petunjuk guru. akan mengarah pada ajaran yang sesat. Dalam hal ini Syekh Abu Yazid Al-Bustamy berkomentar, “Siapapun yang belajar namun tidak mempunyai seorang guru, maka yang menjadi gurunya itu adalah syaitan.” Oleh karena itu, kehadiran seorang guru dalam membimbing, mengarahkan, dan mentransfer ilmu sangat diperlukan saat mempelajari ilmu, karena semua hal yang tersurat belum tentu mencerminkan hal yang tersirat (Lailiyah, Nurul; Aulia, 2019).

Keenam: Unsur waktu (time). Seorang penuntut ilmu harus memperoleh pengetahuan secara mendalam dengan mempersiapkan diri dalam waktu yang lama. Kesediaan untuk mencurahkan perhatian dan melalui proses yang panjang adalah kunci untuk memperoleh kenikmatan, sekaligus keutamaan ilmu yang agung. Banyak yang bisa dipelajari dari waktu singkat. Namun, pematangan dalam diri seseorang membutuhkan waktu lebih lama dan bukan dalam tempo satu atau dua tahun saja. Kesabaran dan ketekunan merupakan bentuk kesediaan penuntut ilmu dalam meraih impian pengetahuan yang mendalam, sebagaimana ilmu menuntut ketekukan untuk masa yang panjang, dan seluruh waktu yang dilaluinya mesti dipahami sebagai bagian dari proses belajar, sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang menghendaki belajar sepanjang hayat “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat”.

Dalam hadist lain dipertegas lagi oleh Rasulullah saw, dengan hadits yang sangat popular dikalangan umat islam yaitu; “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina”. Dalam dua hadits yang disebutkan sebelumnya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan berbagai hal kepada para pengikutnya. Pertama, beliau mengingatkan umat Islam bahwa pada abad ke-6, ketika Islam mulai muncul, Tiongkok sudah dikenal memiliki peradaban yang lebih maju daripada dunia Arab. Kedua, Islam pada dasarnya menghargai ilmu pengetahuan, apa pun sumbernya. Dalam konteks saat ini, ilmu pengetahuan bisa berasal dari Eropa, Amerika, atau Timur Tengah. Ketiga, kesuksesan seseorang di dunia dan akhirat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuannya.

Beberapa khazanah keilmuan yang memperkaya dan memperkuat motivasi para pencinta ilmu pengetahuan agar merasakan kenikmatan menuntut ilmu adalah;

1. Jadikan Wahyu sebagai pemandu aqal

Menurut ajaran islam manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk yang melebihi dari makhkuk lainnya. Diciptakan manusia dilengkapi dengan aqal dan nafsu agar manusia dapat memilih jalan terbaik dalam hidupnya. Salah satu keistimewaan aqal dapat mengetahui sesuatu yang diperintahkan ataupun sesuatu yang dilarang oleh Allah swt melalui wahyu. Aqal dan wahyu tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Wahyu berfungsi sebagai pemandu aqal manusia, agar selalu berpikir benar dan rasional.

Dua unsur ini telah melahirkan peradaban manusia di bumi. Unsur aqal telah melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sementara unsur wahyu telah memberikan petunjuk jalan kebenaran dalam hidup manusia. Sampai sa’at ini pengetahuan manusia terus berkembang dan bahkan telah mencapai tingkat perkembangan yang tak dapat dibatasi. Perkembangan itu pula yang telah melahirkan peradaban manusia di bumi.

Menjelajahi sains dalam konteks pesatnya kemajuan peradaban manusia di bumi merupakan subjek yang memikat. Pengetahuan adalah milik semua orang, terlepas dari apakah ia Muslim atau non-Muslim, Arab atau non-Arab. Meskipun terdapat perbedaan dalam evolusi sains antara Barat dan Timur, dalam skala global, kemajuan sains di Barat berfokus pada sains modern, teknologi, dan pemikiran kritis. Tradisi kritik ini telah menjadi pendorong kemajuan sains di barat.

Sejarah dengan jujur mencatat bahwa jauh sebelum barat meraih kemajuan iptek modern, ilmuan islam sebenarnya telah mengalami kemajuan dan kejayaan terlebih dahulu. Berbagai jenis ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat di dunia islam. Tokoh-tokoh ilmuan muslim, mulai dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali hingga Ibnu Rusd, telah dikenal pemikiran dan pengetahuannya dan bahkan menjadi kiblat bagi orang Barat pada abat lalu. Peradaban ilmu telah menjadi kejayaan Islam sebelum barat terbebas dari kungkungan gereja yang mengalami pemikiran kritis.

Menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat indah dan menyenangkan. Karena ilmu merupakan gerbang masuk kedalam tabir rahasia keagungan Allah swt, maka menuntut ilmu adalah jihad yang paling utama yang membutuhkan kesiapan dan keikhlasan. Kita dan siapa saja dapat menuntut ilmu kapan dan di manapun. Namun sebuah pengalaman yang sangat indah adalah ketika kita menjadi mahasiswa. Disaat itu tahapan perjalanan hidup dimasa muda dirasakan paling cemerlang.

Kita sedang mengisi usia muda dalam komunitas intelektual yang serba menantang, dinamis dan damai demi untuk melahirkan peribadi yang cerdas dan berbudi luhur. Imajinasi itu sangat kuat muncul di benak kita ketika melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau Pascasarjana.

Dalam pengalaman pribadi, sebagai seorang mahasiswa Pascasarjana penulis merasa terpaut dengan banyaknya keinginan besar untuk menguasai ilmu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Besarnya manfaat ilmu bagi diri peribadi untuk mempertegas iman di hati. Sedang manfaat ilmu bagi orang lain adalah untuk membangunkan tidur dari kebodohan.

Menuntut ilmu merupakan aktivitas rasional yang terpuji, holistik, dan menyeluruh yang membawa kebahagiaan bagi mereka yang menjalaninya. Oleh karena itu, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan hendaknya melampaui kecintaan terhadap kenikmatan duniawi dan segala keindahannya.

2. Kehati-hatian dalam memilih kebiasaan.

Berhati-hatilah dalam memilih kebiasaan. Tidak semua kebiasaan selalu bermanfaat. Ingatlah bahwa kebiasaan mencerminkan karakter seseorang. Untuk memahami kepribadian seseorang, amati rutinitas sehari-harinya. Jika seseorang selalu malas dalam mengerjakan semua tugas, jelas ia memiliki karakter yang lamban dan lebih suka menunda pekerjaan. Di sisi lain, jika seseorang selalu menunjukkan disiplin yang tinggi, rajin dan ulet jelas ia memiliki karakter yang baik.

Umpamanya banyak orang sering bertanya tentang ketidakmampuannya berhenti merokok. Pada umumnya mereka banyak yang menjawab dengan jawaban serupa: "Mengubah kebiasaan itu mustahil." Orang yang kecanduan merokok pada dasarnya sedang membentuk kebiasaan yang merugikan. Karena itu, berhati-hatilah dengan kebiasaan anda. Jangan biasakan sesuatu yang tidak bermanfaat dan sia-sia. Agama mengajarkan kita untuk memilih kebiasaan berdasarkan manfa’at dan menjauhkannya jika mendatangkan mudharrat. Jika suatu aktivitas mendatangkan banyak manfa’at dan sedikit mudharrat, jadikanlah itu sebagai kebiasaan.

Salah satu kebiasaan para ulama dan orang-orang arif terdahulu yang paling dicintai Allah dan Rasul adalah belajar atau menuntut ilmu. Mereka menjadikan belajar atau menuntut ilmu sebagai kebiasaan disebabkan rasa cinta akan ilmu pengetahuan. Sehingga sampai hari ini kita mengenal mereka sebagai ilmuan. Sebab itu jadikan belajar sebagai kebiasaan maka ia akan menjadi kebutuhan.

Umpama saja, kita terbiasa makan nasi hari ini karena dibiasakan memakannya oleh orang tua kita sejak lahir. Kalaulah orang tua kita dulu membiasakan memberi makan kita dengan tepung maka sampai sekarang kita akan memakan tepung sebagai makanan pokok.

Begitulah kebiasaan, ia memengaruhi perilaku dan budaya manusia. Demikian pula dengan pengetahuan, karena orang tua kita tidak mendorong dan membiasakan belajar menuntut ilmu, kita merasa sulit untuk mencarinya. Mengubah kebiasaan tentulah sulit namun sangatlah penting. Kita dapat mengambil pelajaran dari orang-orang sebelum kita sebagai pendorong untuk transformasi yang lebih baik.

Penulis memiliki pengalaman pribadi yang cukup menarik. Sepanjang perjalanan mencari ilmu, beberapa pengalaman menginspirasi penulis untuk menjadikan pembelajaran sebagai praktik yang menyenangkan.

Saat itu, penulis terinspirasi oleh kenangan seorang dosen, al-marhum UU Hamidi. Suatu ketika, penulis melihat dalam mobil pribadinya tumpukan buku-buku yang selalu dibacanya. Di dalam mobil itu juga terdapat mesin tik tahun 70-an yang jika digunakan akan mengeluarkan suara keras dan berisik. Penulis takjub dengan kebiasaannya itu. Pengalaman itu menjadi pertanyaan dalam pikiran penulis. Mengapa banyak rang yang tidak mampu membiasakan belajar seperti dosesn yang sukses itu?

Setelah menamatkan S1, S2 dan S3 baru penulis menyadari dan merasakan bahwa membiasakan sesuatu harus dipertimbangkan dengan matang, jangan sampai salah memilih. Akhirnya penulis memutuskan utnuk menjadikan belajar sebagai kebiasaan. Maka sampai sa’at ini penulis merasakan nikmatnya belajar dan menuntut ilmu sepeti dosesn yang di lihat 30 tahun yang lalu.

Menuntut ilmu pengetahuan baik di lembaga formal dan non formal ataupun melalui autodidak dengan membaca, menulis dan kemudian mengajarkan kepada orang lain menjadi kenikmatan tersendiri. Dari sini rasa cinta ilmu hadir dengan sendirinya. Jadi kebiasaan membaca, menulis dan mengajar sebenarnya bukan sesuatu yang sulit. Asalkan dimulai dengan niat yang dibalut tekat yang kuat semua itu dapat terjadi.

Memang untuk melakukan kebiasaan yang baik seperti itu memiliki resiko yang mesti dihadapi. Paling tidak akan menyita waktu senggang untuk duduk-duduk sambil minum kopi dengan teman-teman sepergaulan. Penulis tidak terbiasa dengan aktivitas tersebut, sebab penulis merasa duduk-duduk sambil menyeruput kopi dan berbincang, bahkan ada yang sampai larut malam, terkadang sambil bergosip, sebagai hal yang tidak efektif dan efisien dan membuang-buang waktu yang dapat merugikan. Walaupun banyak orang yang tidak setuju dengan prinsip tersebut. Namun, begitulah beratnya membangun kebiasaan yang baik, berat bagi sebagian orang untuk menegakkan prinsip dan membangun kebiasaan seperti itu karena selalu ada tantangannya yang tak dapat dihindari, paling tidak akan dijauhi oleh teman-teman atau kurang disenangi orang lain.

Jadi mencintai ilmu pengetahuan merupakan emosi batin yang berasal dari proses rutinitas belajar yang melahirkan kebiasaan. Pilihlah kebiasaan yang baik dan produktif agar membuahkan hasil yang bermanfaat.

 

3.Adab menuntut ilmu

Dalam Sejarah disebutkan bahwa Tsabit bin Qays, Adalah seorang sahabat nabi yang mati syahid dalam perang Yamamah ia terkenal sebagai orang yang sangat rajin menuntut ilmu. Karena pendengarannya kurang, ia selalu berusaha berada di barisan paling depan dalam setiap majelis ilmu. Ia juga juga terkenal memiliki suara yang keras dan pernah dilarang nabi bersuara keras ketika berbicara.

Pada suatu Jum’at Nabi SAW mengadakan majelis ilmu di shuffah, di beranda masjid. Orang-orang sudah duduk di sekitar nabi. Tsabit bin Qays datang terlambat. Ia berusaha mendekati Nabi karena kelebihan cintanya kepada nabi dan karena kekurangan pendengarannya. Sebagian sahabat memberi tempat kepadanya supaya Tsabit dapat lewat. Sebagian lagi sengaja menyempitkan tempat duduk sehingga Tsabit tertahan. Tsabit berulang kali minta izin dan menyatakan alasannya mengapa ia harus berada di depan. Ketika orang yang menahan itu tetap di tempatnya, terjadilah sedikit kegaduhan. Nabi saw kemudian memerintahkan para penghalang itu untuk berdiri, “Qum ya Fulan”, Qum ya Fulan.”

Sebagian diantara mereka, kaum munafik menunjukan keengganan mereka. Wajah-wajah mereka menjadi masam. Mereka berkata,”Bukankah menurut kalian sahabat kalian itu (yakni Rasulullah) sangat adil? Demi Allah, ia berbuat tidak adil. Ia membarkan mereka merebut tempat agar dekat dengan nabi mereka. Lalu ia menyuruh orang-orang untuk berdiri dan mempersilahkan duduk mereka yang terlambat datang.”

Waktu itulah turun ayat Qs.Al-Mujadilah; “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (QS.Al-Mujadilah;11)

Begitu besarnya perhatian Al-Qur'an pada majelis ilmu sehingga ayat turun khusus untuk mengatur etika majelis. Menurut ayat ini, etika majelis menjadi syarat diangkatnya derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dalam surat An-Nur ayat 62, salah satu tanda orang yang beriman Adalah menjalankan etika etika majelis. Dalam Qs.An-Nur ayat 63 , mengabaikan etika majelis adalah tanda orang munafik. Apabila sahabat berkumpul bersama dalam satu majelis, mereka tidak keluar sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi, saw pemimpin majelis. Supaya tidak mengganggu, mereka memberi isyarat dengan jari tangannya.

Akan tetapi orang-orang munafik yang tidak tahan duduk lama dalam majelis ilmu, meninggakan tempat secara diam-diam. Allah swt menyebut mereka”orang yang melanggar perintah Rasul”(Tafsir al-Durr al-mantsur 6:231; tafsir al-Fakhr al-Razi 24:39). Allah swt mengabadikan perilaku kedua kelompok ini dalam ayat-ayat berikut; An-Nur: 62-63). Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengannya (Muhammad) dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sungguh, orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. anganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara) sembunyi-sembunyi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

Demikianlah jika kita ingin mencintai ilmu, kita dituntun mentoladani orang-orang sukses terdahulu. Islam senantiasa medorong manusia untuk mencintai ilmu pengetahuan bukan sekedar mendapatkannya tetapi juga untuk mengajarkan kepada orang lain, sebagaimana pesan Imam Syafi'i di atas. Semoga kita termasuk orang yang membiasakan belajar dan mencintai ilmu pengetahuan. Amin. Allahu a’lam bissawab.***

#Umum
SHARE :
LINK TERKAIT