Literasi Shalat Berkesadaran

Literasi Shalat Berkesadaran

Oleh: Dr. H.Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’(QS: 2: 45)

Dalam kajian tasawuf terdapat sejumlah ajaran dasar yang menjadi pokok utama dalam usaha membangun kesadaran sejati. Diantara ajaran dasar itu adalah shalat. Dalam tasawuf shalat adalah sarana yang paling utama untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Komunikasi ini penting untuk mengikuti hukum ‘azimah, yaitu hukum yang tidak mengalami perubahan dan berlaku sepanjang masa bagi seluruh umat Islam.

Shalat yang dikerjakan dengan khusu’ akan melahirkan kesadaran sejati sehingga sang ‘abid selalu merasa dalam pengawasan dan pandangan Allah. Mereka selalu rindu kepada-Nya dan tidak lalai dari mengingat -Nya serta meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW dalam kehidupanya.

Sepanjang sejarah para Nabi dan Rasul, selalu ada teladan dan ajaran bagi umat manusia. Eksistensi manusia melibatkan kepatuhan pada kisah dan pengalaman para nabi dan rasul untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki. Sepanjang perjalanan hidup dan pengalaman para nabi dan rasul ini, kewajiban utama yang Allah perintahkan untuk mereka penuhi adalah shalat. Rasulullah SAW telah mencontohkan shalat yang berkesadaran: "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat." (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu sholat yang merasakan kehadiran Allah SWT. Orang yang sampai ketahap ini memiliki kecerdasan moral-spiritual yang menumbuhkan perasaan yang sangat mendalam bahwa dirinya senantiasa berada dalam pengawasan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Beribadahlah engkau seakan-akan engkau melihat Allah SWT (karena engkau tidak mampu melihatnya), maka ketahuilah, bahwa Allah senantiasa melihatmu”(HR.Muslim).

Hadits yang disebutkan menggambarkan bahwa lensa ilahi senantiasa mengamati batin kita, sehingga kita merasakan bahwa setiap detak jantung diketahui oleh Allah SWT, tanpa ada yang luput dari pengetahuan-Nya. Shalat demikian yang kita sebut sebagai shalat berkesadaran. Oleh karena itu, shalat berkesadaran adalah shalat yang merasakan kehadiran Allah SWT baik di dalam maupun di luar shalat, sehingga shalat tersebut dapat dijalankan dengan pengabdian dan penyerahan diri (surrender) sepenuhnya dan terintegrasi ke dalam realitas hidup manusia.

Lalu bagaimana kita belajar agar shalat kita berdampak bagi kesadaran dalam hidup ini? Diantaranya dapat kita jelaskan sebagai berikut:

Pertama: Mengenal dimensi shalat dengan baik

Shalat memiliki banyak dimensi, baik yang bersifat zahiriyah maupun batiniyah. Dimensi zahiriyah shalat adalah proses aktifitas gerakan tubuh biologis secara teratur dan sistimatis yang menggerakan seluruh titik-titik penting dalam sistem biologis manusia. Gerakan shalat secara teratur bertujuan untuk meng-istirahatkan sendi-sendi tubuh yang kaku ataupun capek setelah beraktifitas. Dimensi batiniyah shalat adalah proses kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam hidup. Disini akan dirasakan arti dan makna kehidupan. Jika shalat belum mendatangkan ketenangan maka kesadaran akan kehadiran Allah SWT, belum ditemukan dan shalat demikian belum sampai ke tingkat khusu’.

Selain itu dalam dimensi bathiniyah shalat terdapat energi yang amat besar yang dapat membangkitkan atau menghidupkan unsur-unsur kejiwaan manusia (bahagia, senang, tenang, semangat). Ia dapat menghibur kesedihan bathin, membahagiakan hati, dan mennguatkannya, serta melapangkan dada karena di dalamnya terjalin hubungan qalbu yang akrab (dekat) dengan Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Shalat berkesadaan adalah shalat yang dilakukan dengan saling terintegrasi antara unsur syari’at, tarekat dan hakikat. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan untuk mencapai ma’rifat. Jadi shalat yang berkesadaran adalah shalat yang dilakukan dengan ketentuan syara’yang memiliki pengamalan dan penghayatan batin sehingga melahirkan rasa berupa hakikat. Sebab itu, untuk kenal dengan Allah SWT dan untuk dekat dengan-Nya tidak cukup hanya dengan melaksanakan secara syari’at tetapi harus diikuti dengan rasa pengabdian (tunduk, takut, tenang) dan keta’atan yang tulus.

Shalat yang berkesadaran dilakukan karena cinta kepada-Nya, yang diharapkan tidak lagi pahala dan surga melainkan keridhaan-Nya. Derajat ini dapat dicapai melalui taqarruf Ilallah. Hubungan kita dengan Allah SWT dalam shalat. seperti hubungan saling mencintai, Kita berada sangat dekat dengan-Nya tanpa batas atau hijab, sehingga kita mengenal-Nya dari dekat. AlQur'an menyebutkan, “Dan tidaklah Kujadikan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepadaku”. (Qs.Al-Zariyat; 56). Dalam satu kitab tafsir disebutkan bahwa “menyembah Allah” dalam ayat tersebut dimaknai dengan mengenal Allah. Tidak mungkin seseorang menyembah Allah begitu saja tanpa mengenal-Nya.

Dalam pandangan ini secara intensitas pertemuan kita dengan Allah swt sangatlah dekat. Ibarat dua orang yang saling mencintai karena intensitas pertemuannya menyebabkan ia jatuh cinta. Semakin sering kita bertemu dengan Allah dari waktu ke waktu, akan semakin timbul rasa kasih sayang dan cinta kepada-Nya. Jika cinta sudah berkobar, seseorang tidak bisa lagi menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan kecintaannya kepada Allah SWT. Sehingga menurut para sufi di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna. Salah satu cara untuk mendekati Allah adalah dengan hati yang bersih dan tulus. Di sanalah Allah melihat sebagaimana sabda Rasulullah saw; “Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk luar kamu, tetapi Allah sawt melihat hatimu”.

Cinta kepada Allah SWT karena sudah dekat dengannya, para ulama menyebutnya dengan taqarruf ilallah. Melalui cinta hamba-Nya, Allah pun mencintai. Dalam banyak nas Allah SWT menjelaskan, umpamanya dalam hadis qudsi Allah swt berfirman; “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada melaksanakan apa yang aku wajibkan kepadanya”. “Tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah hingga aku mencintainya”.

Hadits qudsi diatas, mengajarkan kita untuk mencintai sesuatu yang abstrak. Apabila seseorang telah mampu mencintai yang abstrak maka kecintaan kepada sesuatu yang kongkrit semakin kecil, sehingga dapat menghilangkan ego dan keakuan kita, sebab itu menurut Rasulullah; “bersiaplah untuk menghadapi ujian”.

Kedua: Taqarruf sebagai pencerahan diri

Taqarruf adalah perasaan batin yang dekat karena selalu lari mengejar kasih sayang-Nya. Berlari kepada Allah SWT adalah sifat orang mukhlisin. Cirinya ketika orang sibuk mengejar dunia mereka disibukan dengan mengejar akhirat. Ketika banyak orang yang tertipu dengan keindahan dunia dia sibuk mengenal dirinya sebagai jalan mengenal Allah SWT.

Terkait dengan hal itu, dalam Al-Quran terdapat ayat yang menceritakan perjalanan kahidupan Nabi Ibrahim. Ketika Al-Quran mengisahkan saat Allah SWT bertanya kepada Nabi Ibrahim AS, “faaina tazhabun.” Lalu, akan kemana kamu pergi? (QS.At-Takwir;26). AlQur'an mengisahkan jawaban Nabi Ibrahim: “sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”(QS. As-Shafat;99).

Seorang sufi mengambil keputusan bahwa perjalanannya untuk menuju Allah SWT dalam hidupnya senantiasa pergi menuju arah kehadhirat Tuhannya. Sebab itulah dia sangat dekat bersama-Nya.

Allah SWT menciptakan manusia dari tanah sebagai lambang kehinaan dan kekotoran. AlQur'an menyebutnya dengan nutfah atau saripati tanah. Proses penciptaan selesai maka Allah menyatakan; “lalu Aku tiupkan kedalamnya ruh Ku”(QS.al-Hijr:29). Karena diciptakan dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyah) manusia selalu kotor. Kaum sufi ingin meninggalkan sifat kotor basyariyah, lalu berlari menuju sifat suci (ruh) yang ditiupkan itu.

Shalat adalah upaya berlari setiap saat meninggalkan sifat tanah yang kotor menuju sifat ruh yang suci. Jika perjalanan itu dilakukan dengan yaqin, maka kedekatan kita dengan Allah tidaklah berjarak. Ketika itu diri kita tercerahkan oleh cahaya kebenaran yaitu ruh yang suci yang akan kembali kehadhirat Ilahi.

Hidup kita di dunia sangat singkat untuk menuju Allah. Kita wajib selalu berlari dengan keyakinan dan prasangka baik kepada Allah SWT. Sangkaan hati yang baik akan menambah dekat hubungan kita dengan-Nya. Dalam hadits qudsi Allah SWT mengatakan “Aku adalah berdasarkan sangka baik hamba-Ku. Apabila hamba-Ku datang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku akan datang kepadanya sehasta. Apabila hamba-Ku datang kepada-Ku sehasta, aku akan datang kepadanya sedepa. Apabila hambaku datang kepadaku dengan berjalan, maka aku akan datang kepadanya dengan berlari”. Begitulah ketika kita ingin lebih dekat, Allah ingin lebih dekat lagi.

Pencerahan diri menurut kaum sufi adalah mengisi ruh dengan pancaran cahaya kesaksian Allah dan gelora cintanya. Dalam karyanya yang terkenal, Mirshad al-Ibad, Syaikh Najmuddin Daya (w. 1256 M) menjelaskan tentang ihwal bagaiman cara mencerahi diri dengan cinta Allah. Untuk mencapai pencerahan diri, setiap ikatan yang dibentuk oleh ruh, mengakses tubuh, dengan dunia ini melalui persepsi dan pemahaman sensorik, harus diputus secara perlahan, karena semua ikatan dan keterikatan pada alam ini menciptakan penghalang atau hijab yang memisahkan kita dari Allah.

Segala sesuatu yang mengikat seseorang, beserta segala kecintaannya yang menyebabkan ikatan ini, menandakan perbudakannya sendiri. Akibatnya, ia kehilangan semangat menyaksikan Tuhannya pun hilang. Namun, seiring dengan terputusnya hubungan dunia ini, dan semua ikatan yang mengikat kita terlepas, kita akan terbebas dari ego yang menipu. Ia hanya terlibat dalam mengingat Tuhan dengan kerendahan hati dan kerinduan yang mendalam (Dr. Mir Valiuddin, 1999). Di sinilah kesadaran muncul bahwa kebenaran Tuhan itu sejati dan tidak berubah.

Pencerahan diri yang didorong oleh kesadaran diri mendorong individu untuk mempertahankan niat murni secara konsisten. Pada saat itu, mereka sungguh-sungguh berubah menjadi hamba sejati. Keikhlasan mereka melarutkan batasan-batasan rintangan atau penghalang yang terus-menerus menjauhkan manusia dari Tuhan mereka.

Ketiga: Shalat wujud dinamika kehidupan

Ibadah ritual yang paling istimewa adalah shalat. Dalam rangkaian ritual shalat, syarat dan rukunnya memiliki makna gerak yang dinamis menyentuh semangat hidup melalui proses yang teratur. Mulai dari syarat waktu, tempat, proses dan siapa yang melakukan shalat wajib mengikuti tata cara yang ditetapkan syari’at. Ritual shalat mengandung unsur spiritualitas (kedalaman iman). Ia besembunyi di dalam relung bathin yang paling dalam. Semangat spiritual yang datang dari dalam diri mushalli akan mendorong keyakinannya dan tanggung jawab moral dalam menyingkirkan segala kejahatan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Ini sejalan dengan firman Allah SWT; “sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ( Qs.Al-Ankabut:45).

Mafhum ayat tersebut, adalah bahwa shalat yang penuh keyakinan akan menggetarkan jiwa untuk tampil sebagai the over-achiever, seseorang yang selalu mengubah dunia dengan prestasi, menebar kebaikan dengan cinta ilahi.

Hati mereka selalu gelisah sebelum menemukan makna hidup yang sejati. Penghayatan shalat demikian akan merasakan dirinya tentram, damai dan mengabdi dengan tulus. Bagi mereka hakikat shalat wujud dinamika kehidupan. Mereka adalah tipikal manusia yang gelisah, ingin menjadikan dirinya penuh arti. Dalam kegelisahan bathinnya tersimpan keyakinan yang sejuk dan damai, jiwa mutmainnah yang maha dahsyat, sebagai sumber energi yang membara.

Manusia merupakan makhluk yang dibakar oleh api hasrat untuk menemukan kesempurnaan. Tidak ada yang bisa memadamkan api itu, kecuali dia sampai dimata air kesempurnaan mutlak. Sungguh hanya dengan mangingat Allah (sholat/zikir) hati menjadi tenang dan tentram (QS.Ar-Ra’d;29). Jiwa orang yang sholat selalu tinggi, mi’raj menuju ketinggian bathin yang maha suci. Mereka yakin bahwa dengan shalat, hati mereka selalu mulia karena melangit menuju puncak kemuliaan sejati. Esensi kehidupan akan ditemukan melalui audiensi yang penuh kesadaran diri sehingga dirinya menjadi mihrab untuk berjumpa dengan Sang Maha Kekasih yaitu Allah SWT.

Mereka menghirup udara iman yang melimpahkan kesegaran rohani sehingga memberikan berkah kesehatan dalam hidupnya. Jiwa yang sehat, raga yang sehat mendorong dinamika kehidupan yang bahagia yang memacu produktifitas sehingga seluruh aktifitas duniawi akan terlaksan dengan mudah dan penuh makna dan berkah. ***

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT