Agama Tenda Bangsa

Agama Tenda Bangsa

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Mencermati program prioritas (Asta Protas) Menteri Agama RI Tahun 2025-2029 sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 244 Tahun 2025 tentang Program Prioritas Menteri Tahun 2025-2029 bertujuan untuk memperkuat pelaksanaan Asta Cita Presiden, mewujudkan visi Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045, dan memberikan dampak positif terhadap perkembangan agama. Hal tersebut sangat menarik untuk didiskusikan terutama dalam kaitannya dengan penomena sosial politik bangsa yang terjadi akhir-akhir ini.

Dalam Asta Protas (Delapan Program Prioritas) Kementerian Agama RI tersebut terdapat delapan program pembangunan di bidang agama yaitu: (1) Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan; (2) Penguatan Ekoteologi; (3) Layanan Keagamaan Berdampak; (4) Mewujudkan Pendidikan Unggul, Ramah, dan Terintegrasi; (5) Pemberdayaan Pesantren; (6) Pemberdayaan Ekonomi Umat; (7) Sukses Haji; dan (8) Digitalisasi Tata Kelola.

Kita tidak uraikan kedelapan program tersebut satu persatu di sini, tetapi yang menjadi pokus interfret artikel ini adalah bagaimana program tersebut menjadi modal kekuatan sekaligus peluang untuk mewujudkan pola keberagamaan berdampak dalam masyarakat.

Keberagamaan berdampak merupakan upaya menumbuhkan kesadaran dalam diri individu atau kelompok agama, untuk membangun sikap optimisme dan patuh dalam menjalankan moralitas berbangsa dan beragama. Pola pikir ini dapat timbul dari keyakinan yang kuat kepada agama yang dianut oleh bangsa itu sendiri. Agama diibaratkan seperti tenda yang melindungi dari terik matahari dan hujan yang mengguyur mereka yang tinggal di bawahnya.

Agama, yang berfungsi sebagai naungan dan fondasi bangsa, dapat memperkuat masyarakat melawan tekanan politik global yang seringkali melemahkan prinsip-prinsip moral keimanan yang lebih tinggi. Meskipun demikian, kita semua menerima dan mengakui bahwa agama merupakan puncak nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai sumber moral bagi semua upaya politik, sosial, dan budaya negara. Oleh karena itu, di Indonesia, prinsip pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip-prinsip moral agama berfungsi sebagai kekuatan transenden dalam menegakkan kebenaran dan melindungi dari dampak buruk politik global.

Kita maklum, bahwa perkembangan politik global telah mengakibatkan terjadinya goncangan resonansi sosial politik di berbagai negara. Di Indonesia umpamanya era baru pasca-politik Indonesia maju melahirkan berbagai phenomena social yang serba ambigu. Moralitas berpolitik seakan-akan pudar, ranah demokrasi menjadi lahan ocehan yang berkepanjangan karena arah kebijakan kekuasaan buram dan belum kunjung dinikmati dampaknya oleh segenap lapisan masyarakat.

Area kekuasaan menjadi sorotan tajam di perbincangkan. Kekuatan social hanya bersandar pada opini moralitas akademik yang menjamin realitas secara vaktual. Kekuatan politik seakan-akan bungkam dan renggang dari inspirasi moral sehingga terkesan indah dalam pencitraan. Di sisi lain ekonomi kerakyatan dirasakan semakin melemah akibat kebijakan politik yang semakin tak berdaya.

Di sisi lain, pengaruh kekuatan new-globalization terus menghadang tatanan hidup berbangsa dan beragama. Sebagian bangsa-bangsa maju dan berkembang terpaksa melipat selimut tidurnya yang panjang dalam kebingungan. Kerja sama luar negeri menjadi trending topik strategik pembangunan yang paling utama. Posisi-negara berkembang (umpamanya Indonesia) berada di bawah tekanan global yang harus meyakinkan bangsa lain akan kekuatan sumber daya yang dimiliki. Akibatnya kita menjadi penadah harapan kepada negara-negara maju untuk meminta pengakuan atas keberhasilan yang dimiliki.

Kompromi politik global bangsa terkesan hanyalah membangun citra, sebab jeritan batin kepentingan bangsa merangkak ditengah kesulitan hidup berbangsa yang terus bergaung.

Inisiatif strategis apa yang perlu ditingkatkan untuk menjamin bahwa representasi hak dan kepentingan sosial nasional dan agama sejalan dengan tujuan politik global yang terus berkembang dan berdampak positif terhadap kesejahteraan bangsa di tengah reformasi?

Dalam perspeftif interpret agama berdampak di Indonesia, berbagai metode strategis disarankan yaitu;

Pertama, Merajut etos politik agama

Etos politik agama adalah etos kekuasaan yang berdiri diatas nilai-nilai agama secara universal. Semua agama memiliki etos politik yang mengandung nilai-nilai universal yang dapat dikembangkan. Melalui nilai tersebut politik dibangun dan di kendalikan oleh prinsif keadilan. Melalui kerangka ini kecurigaan dan ketidak pastian kebijakan politik dapat ditelusuri, karena di dalam nilai-nilai aktualitasnya terdapat nilai kejujuran. Sehingga jika di contohkan dalam agama Islam, kuatnya radikalisasi kekuasaan, kekuatan isu pengaruh globaliasi dapat dibatasi dengan mengedepankan prinsip rahmatallil ‘alamin secara bersama-sama dan seimbang. Disini nilai agama berwujud menjadi kekuatan nilai yang membimbing proses politik.

Etos politik agama merupakan keterpaduan potensi moralitas antara nilai politik dan nilai agama yang dapat menggerakan alur demokrasi secara santun dan bijaksana. Jika selama ini pengaruh stigma Barat yang mengalir dalam proses globalisasi bahwa agama harus berdiri sendiri secara privat bagi seluruh manusia, maka sa’atnya kita membangun paradigma baru melalui etos politik agama. Menjadikan agama sebagai acuan moralitas berpolitik harus dipandang sebagai langkah transendensi moral berbangsa.

Masyarakat di dunia manapun memiliki pandangan tersendiri dalam memaknai fungsi agama dalam kehidupannya. Agama tidak hanya sebagai alat menghakimi nilai-nilai substantif keimanan dalam aktifitas kekuasaan tetapi memiliki dampak yang mengarah kepada aktualitas fungsi nilai-nilainya dalam masyarakat.

Ada kalangan tertentu mengartikan perkembangan politik global saat ini dengan rule politics, atau merajakan politik, sehingga kekuasaan menjadi tujuan utama politik. Kekuasaan dianggap sesuatu yang langgeng, sehingga kekuasaan lama dilestarikan sementara kekuasaan baru selalu mengukuhkan. Akhirnya konsistensi reformasi global berbangsa hanyalah menjadi arus pragmatis yang tak kunjung tuntas. Di sisi lain dalam sekat-sekat social terbangun wabah sindrom kerinduan kepada masa lalu. Kembali ke masa lalu diangap sebagai pengurai problem yang strategis guna mempercepat kejelasan tujuan berbangsa.

Terdapat contoh-contoh menarik mengenai tantangan moralitas nasional di Indonesia yang berkaitan erat dengan internalisasi nilai moralitas agama. Misalnya, tragedi seputar kontroversi ijazah palsu presiden ke-7, pemakzulan Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming, perdebatan mengenai pemberantasan korupsi, dan putusan hukum pidana (kasus Tom Lembong). Hal tersebut telah menjadi sorotan publik yang mempengaruhi iklim pysiko-religius masyarakat. Banyak aspek yang patut dikritik dan disarankan solusinya atas peristiwa-peristiwa tersebut. Dalam konteks moralitas agama, banyak yang mencermati bahwa fenomena yang terjadi cenderung merendahkan prinsip moral agama sebab pihak berwenang telah mendiskriminasi nilai-nilai politik agama itu sendiri, seperti kejujuran, keadilan dan kesantunan. Sebab itu nilai-nilai moral agama penting ditegakan dan dihidupkan kembali, sehingga semangat politik agama tumbuh menjadi standar moral yang mendorong integritas dalam berpolitik.

Kedua, Membangun optimisme berbangsa

Di tengah gejolak politik dan memudarnya semangat keagamaan, bangsa Indonesia membutuhkan rasa harapan nasional. Kita telah jauh melewati era reformasi. Kita telah membahas secara mendalam bagaimana negara ini dapat bertransformasi menjadi negara yang bercirikan pemerintahan yang clean and good govermenace, bersih dan efektif, yang seharusnya menjadi cerminan konkret dari eksistensi bangsa. Namun, hal ini belum terjadi, tetapi bukan berarti bangsa ini telah kehilangan harapan dalam menghadapinya.

Kita perlu bangkit dan bertindak untuk mencapai prinsip-prinsip luhur yang telah kita tetapkan. Kita ingin menghindari keterjeratan terus-menerus dalam kekuasaan otoriter dan praktik-praktik pemerintahan. Negara yang makmur ini tidak dapat disangkal tengah mengalami perebutan kekuasaan yang seringkali terbukti merugikan.

Praktik korupsi belum teratasi, walaupun 22 tahun yang lalu para pakar dan tokoh politik kita seperti Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif dan Frans Magnis Suseno pernah mengungkapkan bahwa bangsa ini tinggal menunggu waktu masuk kejurang. Penyebab terbesarnya Adalah karena korupsi telah menyebar kesemua lini kehidupan pemerintahan (Kompas, 2003). Bahkan para politisi yang dulu gemar mencari dan mengkritisi para penguasa, setelah duduk di singgahsana kekuasaan, malah mempraktekan tradisi lama dan bahkan semakin gila-gilaan, yang nyata-nyata jauh dari moral agama. KKN telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian para pejabat, padahal itu adalah sumber kerusakan, kekerasan dan malapetaka serta pengkhiyanatan bagi rakyat.

Kondisi diatas, tentu semakin membingungkan Masyarakat luas dan rakyat kecil yang sudah lama dihimpit dan kehilangan kepercayaan. Krisis kejujuran semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin, padahal mereka adalah pejabat yang yang secara dejure seharusnya menjadi pemimpin yang dapat ditoladani oleh rakyatnya. Ketika mereka mengkompanyekan hidup sederhana dan jangan berpoya-poya, justru gaya hidup mereka memburu trend produk-produk high cost yang sangat mewah. Mereka hidup berpacu dengan iklan-iklan media yang semakin hari semakin menyesatkan. Disilah urgensinya optimisme berbangsa perlu dibangun dengan karya nyata yang dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa.

Ketiga, Memperkuat supremasi keadilan

Kata supremasi selalu digandengkan dengan hukum sehingga yang sering kita jumpai adalah penegakan supreasi hukum. Pada prinsipnya supremasi hukum tidak akan tegak jika keadilan tidak ditegakkan terlebih dahulu. Apa yang kita saksikan baru-baru ini, seperti kasus yang kita sebutkan diatas dapat mewakili contoh belum tegaknya supremasi keadilan dalam hukum. Sebab itu supremasi keadilan sangat tepat untuk bangsa yang sedang membangun kesadaran hukum.

Kita perlu segera menumbuhkan kesadaran baru tentang kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan hukum bagi seluruh rakyat. Tujuan dan Inti dari penegakan hukum adalah tercapainya keadilan. Menjaga keadilan merupakan perhatian penting bagi setiap negara sebab keadilan adalah cita-cita bangsa yang paling utama. Keadilan yang berasal dari kata “adil”, itu diartikan sebagai sikap yang berpihak pada yang benar. Tidak memihak salah satunya dan tidak berat sebelah dan tidak sewenang-wenang.( KBBI;2020). Artinya keadilan adalah suatu tuntutan sikap dan sifat yang seimbang antara hak dan kewajiban. Salah satu asas dalam hukum yang mencerminkan keadilan yaitu asas equality before the law yaitu asas yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

Dalam ajaran Islam umpamanya melaksanakan hukum dengan adil adalah suatu kewajiban bagi penegak hukum, karena tegaknya keadilan akan menebar kasih sayang. Sebab itulah keadilan merupakan perbuatan yang lebih dekat kepada taqwa, I’dilu huwa aqrabu li at-taqwa.

Kita sangat merindukan bangsa dan negara ini berdiri tegak dengan percaya diri, bermartabat dan disegani dalam pergaulan dunia. Kita mendambakan terrealisasinya mimpi dan cita-cita pembangunan sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Kita ingin membangun masyarakat yang cerdas dan mampu melaksanakan nilai keadilan dengan baik. Sikap adil akan melahirkan nilai kasih sayang, cinta kemanusiaan dalam tatanan bangsa yang sejahtera.

Untuk itu beberapa supremasi keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain: Pertama, keadilan hukum. Semua agama memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, baik terhadap diri sendiri, keluarga apatah lagi dalam kehidupan berbangsa.

Kedua, keadilan ekonomi. Semua agama menghendaki tidak adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Ketiga, keadilan politik. Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen dan bertanggungjawab pada warganya. Memang, tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut kekuasaan untuk menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya.

Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya. Siapapun dia dan apapun sukunya jika dia menjadi pemimpin maka wajib di ta’ati. Keempat, keadilan berteologi/berkeyakinan. Agama (baca;Islam) memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya, termasuk keyakinan yang berbeda dengannya sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat.

Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan. Kelima, keadilan kesehatan.

Menegakan keadilan kesehatan merupakan sumber keamanan. Kesehatan bukan milik satu orang atau kelompok orang melainkan milik siapa saja. Untuk itu agama mendukung dan menjadi inspirasi dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Dan Keenam, keadilan pendidikan. Negara yang bijaksana adalah negara yang memberikan hak pendidikan secara adil dan merata kepada rakyatnya. Kewajiban negara untuk mencerdaskan rakyatnya adalah pesan konstitusi yang wajib dilaksanakan. Sebab itu keadilan pendidikan wajib tegak untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. ***

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT