Oleh: Dr.H.Muhammad Nasir,S.Ag.MH, Kakan Kemenag Kabupaten Anambas
Labbaikallah humma labbaik,“Ya Allah kami datang memenuhi panggilamu”Panggilan haji adalah panggilan cinta. Tidak semua orang yang dipanggil dan mampu memenuhi panggilan-Nya, kecuali orang yang dikehendaki-Nya. Allah SWT telah memperkenankan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya untuk mengenal cinta dalam ibadah haji.Keluarga Nabi Ibrahim terkenal keluarga yang tahan ujian dan cobaan. Mereka bersedia menderita demi cinta. Allah telah memberikan cinta kepadanya dan diapun cinta kepada Allah SWT.Manusia, sampai kapanpun membutuhkan cinta. Cinta adalah energi pendorong yang sangat ampuh yang dapat memberi warna kehidupan. Ia bisa menggerakkan, menghidupkan dan memberi semangat bagi manusia. Setelah Adam dan Hawa jatuh ke bumi, cintapun diturunkan Allah SWT ke bumi. Diceritakan, ketika cinta itu jatuh ke bumi, dimulailah episode pengembaraan hidup anak manusia. Melalui cinta itu manusia bertanya tentang siapakah sebenarnya dirinya pada siapa saja yang ia temui dalam perjalanan pengembaraanya. Pada alam semesta, pada bumi yang dipijaknya, pada air dilautan samudera, pada pohon yang kokoh berdiri, pada gunung yang tinggi menjulang, pada lebatnya hutan rimba, pada angin yang bertiup kencang, pada api yang panas membara, pada langit biru yang indah dipandang, hingga ia bertemu matahari yang terik menyengat tubuh, lalu ia bertanya pada matahari, dan matahari menjawab, “Cinta adalah hidup untuk memberi energi kehidupan dan cahaya harapan, ia takkan lelah memberi sampai ia padam dan mati. Sekelumit sejarah cinta demikian, memberikan i’tibar kepada kita bahwa cinta merupakan sesuatu yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia.Dalam panggilan haji yang istimewa itu terdapat energi cinta yang luar biasa. Di dalam kekuatan cinta terdapat sesuatu yang banyak dan menakjubkan. Menurut Heddon (1979), dalam The Miraculous Power of Love, cinta dapat menyebabkan orang bertahan hidup walaupun disiksa dan dianiaya dengan tidak diberi makan dalam beberapa hari, begitu hasil penelitiannya di penjara Auschwitz di Oswiecim Polandia. Nah, dalam artikel yang singkat ini penulis menjelaskan cinta dalam panggilan haji.Terdapat dua cinta dalam panggilan haji yaitu:Pertama, Cinta Ilahi.Dalam dunia tasawuf cinta disebut dengan mahabbah. Mahabbah merupakan tingkat tertinggi dalam pencapaian menuju Allah, persoalan mahabbah adalah menyangkut aspek esoterik atau batin. Cinta atau mahabbah tidak dapat dipelajari melainkan adalah anugerah dari ilahi dan datang atas kehendaknya. Ketika panggilan haji dilaksanakan, di tanah suci para jama’ah haji datang dan bertemu langsung dengan Yang Maha Cinta.Ketika itu Allah menghendaki siapa saja yang dianugerahkan cinta-Nya. Jika sang hamba telah dianugerahi cinta-Nya maka tidak adalagi rasa terindah dalam hidupnya kecuali rasa cinta dan kasih sayang. Tanpa cinta, manusia tidak bisa hidup bahagia. Haji adalah jalan menjemput cinta. Beratnya perjalanan haji adalah ujian untuk mendapatkan kebahagiaan. Para sufi menjadikan ujian itu sebagai sesuatu yang disenangi walaupun berat melakukannya. Untuk mendapatkan maqam cinta itu tidaklah mudah, melainkan harus melalui jalan, stage-stage atau tangga-tangga dan cobaan yang berliku-liku, karena cinta akan mendasari iman. Melalui cinta iman akan kuat dan dengan iman cinta terikat. Jila kita hayati kehitupan kita saat ini, banyak sekali aktifitas kehidupan ini yang tidak dilandasi diatas cinta ilahi. Akibatnya banyak manusia yang ber-islam hanyalah menjalankan doktrin yang kering tanpa makna. Manusia menjadikan agama sebagai topeng belaka. Secara biologis ia manusia, tetapi didalam dadanya tersimpan semangat kezaliman dan kejahatan. Dia tidak lagi segan-segan menipu, menyakiti orang lain dan bahkan membunuh sekalipun. Agama dijadikan sebagai permainan belaka (QS.6;70).Upacara-upacara keagamaan diselenggarakan seperti menggelar festival, tanpa ruh dan kehangatan. Da’wah dimana-mana berjalan namun sedikit sekali berdampak dalam kehidupan. Dalam panggilan haji terdapat sesuatu yang istimewa bila dibandingkan dengan ibadah lainnya seperti puasa, sholat dan zakat. Di dalam ibadah haji terkumpul seluruh rangkaian rukun islam yang menjadi amalan selama melaksanakan haji. Artinya seluruh perintah dalam rukun islam dilakukan dalam ibadah haji. Disamping itu dalam panggilan haji terdapat dua dimensi alam yang wajib datang memenui panggilan haji sekaligus yaitu panggilan kepada ruh atau jiwa dan panggilan kepada jasad atau raga.Manusia datang ke tanah suci dengan ruh dan jasadnya sekaligus. Sangat menakutkan jika ada jamaah haji yang berangkat ke tanah suci hanya ruhnya saja atau jasadnya saja. Meninggalkan tanah air, meninggalkan rumah kita untuk menuju rumah Allah baitullah di tanah suci adalah dimensi alam raga atau jasad. Maka perjalanan itu disebut dengan musafir yang bernilai ibadah. Dalam pandangan ahli ma’rifat yang dimaksud dengan rumah kita adalah ego yang selama ini menguasai diri dan sikap perilaku buruk, sedangkan baitullah atau rumah Allah adalah tempat kebenaran hakiki.Disanalah manusia dipanggil untuk mengenal lebih dekat dengan Allah swt. Mengenal Allah lebih dekat adalah anugerah-nya kepada hamba-Nya. Tidak semua orang yang pergi haji mendapatkannya. Sebab itulah ketika jamaah sampai di depan ka’bah lalu melaksanakan tawaf di sekelingnya. Ini bertanda isyarat untuk bisa masuk kedalam Rumah-Nya. Alangkah ruginya para jamaah haji jikalau sudah sampai di depan ka’bah tetapi tidak bisa masuk ke dalamnya. Tentu masuk disini bukan dalam arti maknawiyah, tetapi dalam arti hakikiyah. Masuk rumah Allah dalam arti maknawiyah adalah hadirnya manusia secara fisik di ka’bah (baitullah), sedang masuk secara hakikiyah adalah hadirnya ruh manusia masuk kedalam pelukan kasih sayang-Nya.Panggilan haji merupakan panggilan untuk pulang menuju rumah Allah SWT (baitullah). Karena kita semua dari Allah dan akan kembali kepada Allah SWT. Dalam hal ini berhaji dapat diartikan sebagai perjalanan pulang ke kampung ruhani. Jadi, pergi berhaji sejatinya sangat antusias dan bergairah karena kembali ke tempat asal kita.Sebagaimana perjalanan pulang yang sering kita lakukan setiap hari, entah pulang dari kantor, sekolah, belanja, atau jalan-jalan selalu merupakan yang menggairahkan dan dinanti-nantikan. Dalam rangkaian ibadah haji terdapat latihan ruhani untuk melepaskan dunia dan segala isinya. Hati dan pikiran harus sudah siap untuk kembali ke kampung ruhani. Dimulai dari niat dalam hati, karena ibadah haji secara lahiriyah diawali dengan menaggalkan pakaian sehari-hari, lalu diganti dengan menggunakan pakaian ikhram, yaitu kain putih yang amat sederhana. Secara psikologis, pakaian keseharian kita merupakan refleksi keakuan kita serta simbol status sosial. Ketika menghadap Allah SWT, pakaian artifisial ini kita lepaskan karena akan mengurangi rasa kedekatan, kepasrahan dan cinta kita dengan Allah SWT. Ketika sudah sampai di rumah suci Ka’bah, sebagai tamu Allah, kita wajib mendengarkan bisikan cinta-Nya kepada hamba-Nya. Bisikan suci itu hanya dapat didengar oleh hati atau ruh yang telah suci bersih dari noda dosa. Sebab itulah sebelum kita berangkat ke tanah suci kita wajib terlebih dahulu mensucikan bathin atau hati kita terlebih dahulu, sebab itulah yang dipanggil oleh Allah dalam panggilan haji. Allah Yang Maha Suci akan memperkenankan cahaya cinta (kebenaran) masuk kedalam hati para jama’ah bagi yang dikehendaki-Nya. Di sana kita melihat cahaya-Nya dan mendengar bisikan-Nya sebagaimana dalam Hadits Qutsi:”Wahai hamba-Ku, Nur-Ku bukanlah cahaya, bukanlah kalimat, dan Nur-Ku juga bukan bentuk, namun Nur-Ku adalah suatu “pengertian dan pemahaman” yang lebih nyata dan benar dari pada segala pandangan akal dan pikiranmu”( Maulana Syaikh Muhammad Hisyam al-Qabbani; 2012). Dalam kehidupan ini, mudah sekali orang mengidentikan dirinya dengan pakaian, status sosial, dan profesi yang disandangnya itu dianggap bergengsi dan mendatangkan banyak keuntungan materi. Oleh sebab itu, kita melaksanakan haji menghadap Allah, seseorang muslim dibimbing agar melepaskan semua identitas dan kebanggaan duniawi. Semuanya lenyap dalam seragam putih, lebur dalam kekitaan sebagai sesama manusia dan sesama hamba Allah, tak ada lagi kelas-kelas sosial. Itulah spirit tauhid, itulah pesan Haji, dan pesan itu sesungguhnya juga terkandung dalam sholat berjamaah. Semuanya sama dihadapan Allah kecuali taqwanya. Pakaian dan status sosial yang sudah lama pada diri seseorang, secara psikologis berpotensial melahirkan kekuatan imperialism yang menjajah kesadaran suci yang sangat mulia bahwa setiap orang memiliki derajad yang sama di hadapan Allah swt kecuali derajat taqwanya. Bahwa pakaian dan jabatan hanyalah tempelan yang setiap saat bisa dipakai dan dilepas. Yang membedakan derajatnya di hadapan Allah swt adalah kadar iman dan amal salehnya. Kesadaran itu sudah mulai hilang akibat kelalaian manusia dalam hidupnya.Untuk meraih kembali kesadaran eksistensial itu, seorang muslim diwajibkan melaksanakan ibadah haji, meninggalkan rumah dan segala pekerjaan serta status sosialnya agar terbebaskan dari sifat self-centered. Untuk itu ibadah haji diawali dengan menaggalkan pakain sehari-hari, pakaian dalam arti yang lebih dalam dan luas. Haji adalah upaya mendekati dan mengenali Allah SWT lebih dekat. Orang yang ingin tahu dan mengenali lebih dekat mestilah mematuhi aturan kesopanan dan aturan moral yang ditetapkan Allah SWT. Sebab itu haji merupakan panggilan untuk ma’rifat kepada Allah agar sang hamba betul-betul mengenal dirinya untuk mengenal Allah penciptanya.Ketika Allah memberikan ilmu itu kepada hambanya akan terbentuk suatu keakraban yang erat antara Allah swt dan Hamba, sehingga tujuannya menciptakan makhluk yaitu agar makhluk itu mengetahuinya dapat terwujud sebagaimana dalam hadits Qudsi Allah swt berfirman;”Aku adalah harta-harta tersembunyi, dan aku ingin diketahui, maka aku ciptakan makhluk, supaya aku dapat diketahui”.Melalui ma’rifat, Allah SWT menyingkap tabir dirinya kepada jiwa ‘aqali, yang memiliki sarana komunikasi dan kognisi spiritual seperti qalbu/hati yang mencintai-Nya,dan lubuk hati terdalam dari jiwa (al-sirr) yang merenungi-Nya. Disini kita memenuhi panggilan Allah berjalan kerumah-Nya untuk mendengarkan bisikan cinta kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang lain Allah berfirman:”Wahai hamba-KU; Dan sesungguhnya keagungan-Ku melipputi hati yang selalu menyentuh nama-nama-Ku, dan kecintaan-Ku dapat ditemukan kepada hati hamba-hamba-Ku yang selalu bersembunyi malu berhadapan dengan-Ku, sedangkan ia menjauhkan ibadahnya dari pandangan segala mkhluk, kecuali kepada-Ku saja.” Menurut ulama tasawuf, disinilah makna ikhlas yang sesungguhnya. Hamba Allah yang sampai ketingkat ikhlas ia akan beribadah hanya dilihat oleh Allah saja. Walaupun ia sedang berada di tengah manusia, dia tidak menghiraukannya karena hatinya hanya tertuju kepada Allah yang ia cintai. Hatinya sudah dipenuhi oleh rasa cinta yang mendalam. Hubungnnya dengan makhluk seakan-akan putus dan ia tidak lagi memperdulikan sesuatu selain Allah. Sebab itu dalam hadits Qudsi yang lain Allah berfirman;”Wahai hamba-Ku,”Tiadalah sesuatu apapun Aku letakan di hati hamba yang mencintai-Ku, lecuali rasa rindu yang berkepanjangan, dan tiada suatu kalimatpun yang Aku ajarkan di lidahnya selain nama-nama-Ku, sedangkan pandangannya tak berpaling lagi dari wajah-Ku.” Ketika sampai ke situasi ini sang hamba akan merasakan rindu untuk kembali ke Baitullah untuk menyaksikan kembali bisikan cinta Ilahi Rabbi. Sebab itulah banyak jamaah haji yang ingin menunaikan ibadah haji berkali-kali, walaupun banyak juga yang ingin ke Makkah setiap tahun dengan tujuan bisnis atau mendapatkan keuntungan duniawi. Kedua, Cinta Kemanusiaan.Dunia saat ini sedang mengalami banyak problematika kemanusiaan. Penyebabnya bisa oleh peperangan, bencana, kejahatan dan banyak yang lainnya. Namun di tengah-tengah derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, peradaban manusia bangkit dan maju dengan pesat. Secara tehno-biologis manusia sudah sampai dilangit tetapi secara tekno-psikologis terbenam di bumi. Manusia kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang berperadaban. Islam sebagai agama peradaban, memiliki doktrin yang tidak lekang dibumi ia selalu mengembalikan fitrah kemanusiaan kepada citra penciptaannya. Fitrahnya manusia memiliki cinta dan kasih sayang. Sikap itulah sejatinya yang menghiyasi peradaban manusia di bumi. Sikap ini telah dicatat dalam sejarah perkembangan manusia, yang disebut dengan Filantrophi. Istilah Filantrophi berasal dari perkataan Yunani “philos” yang bermaksud cinta dan Filantrophi termasuk juga dalam cinta kemanusiaan. Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk saling menyayangi, mengasihi dan menyantuni sesama manusia. Dalam panggilan haji terdapat symbol nilai cinta kemanusiaan. Ia menjelma dalam bentuk kebersamaan yang tulus dalam mencintai sesama. Umpamanya saja dalam ibadah haji diperintahkan membayar “Dam” dalam pelaksanaan haji tamattu’ dan melanggar atau melakukan beberapa ketentuan dalam haji. Disamping itu jamaah haji juga disunnahkan banyak bersedekah dan membantu antar sesama. Anjuran ini adalah anjuran memperkuat cinta kemanusiaan. Di samping itu nilai-nilai kemanusiaan yang paling azasi menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah haji. Ini dibuktikan bahwa manusia memiliki jati diri yang di dalamnya terdapat substansi kemanusiaan yaitu ego atau keakuannya. Dalam ibadah haji ke-akuan itu wajib disingkirkan karena yang terbaik diantara manusia adalah taqwanya.Ketika seseorang memulai proses ibadah haji, egoisme dan berbagai kesadaran palsu harus dikubur, lalu ditumbuhkan pada dirinya kesadaran baru, yaitu penghayatan akan makna kemanusiaan universal. Mereka datang dengan niat yang sama dan status yang sama. Sebab itu Ibadah haji merupakan upacara kematian egonya yang palsu dalam rangka menemukan kembali jati dirinya yang paling fitri sehingga setelah berhaji akan semakin terpacu untuk membangun makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Disamping itu ibadah haji merupakan ibadah yang berpusat pada kesehatan jasmani dan ruhani. Kesehatan jasmani di butuhkan untuk melaksanakan rangkaian manasik haji seperti tawaf, sa’i dan wuquf di Arafah. Sedangkan kesehatan ruhani dibutuhkan karena kita akan mendekat dengan Allah Yang Maha suci. Sebelum kita sampai kepada Dia Yang Maha Suci, jama’ah tidak diperkenankan sedikitpun cacat ruhani karena akan membatasi atau menjadi hijab pertemuan sang hamba dengan Tuhannya. Mulai dari memasang niat sampai meninggalkan tanah suci hati harus terjaga dari jidal, fusuk sebagaimana dalam Qs.2;197 ;”Jangan bercarut, jangan melakukan perbuatan maksiat, jangan berbantah-bantahan dalam melaksanakan ibadah haji.” Hati yang terhindar dari larangan dalam melaksanakan haji diatas, merupakan bukti hati cinta kepada Allah SWT dan sayang sesama manusia. Ketika mengumandangkan talbiyah sebagai pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Allah SWT. Suasana bathin terasa dipenuhi oleh kesadaran “aku-“Engkau, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transcendental secara intens. Ketika itu pikiran, perasaan, ucapan, dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah SWT. Dengan demikian cinta kemanusiaan adalah bukti wujud cinta kepada Allah swt yang menjadi buah dari pelaksanaan ibadah haji.Melalui panggilan haji peradaban cinta kemanusiaan dapat dibangun di bumi. Melalui cinta, manusia membangun kehidupan baru yang di dasari dengan saling menyayangi, saling asah, asih, asuh dan saling menguatkan satu sama lain. Hidup tidak hanya memikirkan diri sendiri tetapi bermanfaat pula untuk orang lain. Ketika mereka kembali ke tanah air mereka akan menebarkan berkah kepada orang sekitarnya. Ketulusan hati dan energi cinta menjadi hiyasan dalam pengabdiannya. Mereka memiliki tetesan mu’jizat kemanusiaan yang suka berbagi dan peka terhadap kesulitas orang lain. Kerendahan hati mereka menghantam sosok para tirani pemuja kekuasaan. Cahaya wajah mereka yang telah diberkahi Allah dengan cinta mematahkan kepongahan dan keangkuhan mengubah menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Kita menantikan kehadiran mereka, wahai para Hujjaj yang beruntung.***